Senin, 16 Agustus 2010

Fakultas Teknik UNPAR Menurut Sketsa Saya

Technique Faculty, Parahyangan Catholic University according to my sketch.......

YWS

LAWAN KATA / PADU PADAN ?


YWS

SPACE STRUCTURE



In Architecture, there is quite important for structures to create a functional space. To give a place for an activity, we need a good space to be functioned as our desire. In this case, an activity container could be defined as a building which become an architecture object. Building needs approriate and strong structures to restrain the whole building itself. The relation with ‘Space Structure’ subject, that a space of the building can be created by supported structures. Certain type of structures creates certain space with certain form and determine what activity can happen in that space.

Aspects of ‘Space Structure’ in this essay contains:



• Man-Space-Roof


• Roof-Supports


• Structures: Frame-Plane-Volume


• Space-stucture


• Anatomy: Structure/ non elements

MAN –SPACE – ROOF

As explainned before that human being always does some activities everyday. To do some activities we need a space ‘in door’ or ‘out door’. These space (in door / out door) called a container of activity with various forms.

However, most of our activities held in closed door. In this case, the space we used to do some activities is a building which is an architecture object. Human being wants surrounded by walls or partitions to keep the privacy during do some activities. Besides, people wants covered from rain, sun shine, and other disturbing things that threaten them. In order to covered from rain and sun shine then roof is needed. Roof is important element to covered human being from rain and sun shine.

ROOF – SUPPORTS

Roof can not stand without supports, we need frame structures to support the roof so can be functioned as our planned. Roof structure influence the form of roof itself and influence the shape of created space.

STRUCTURE: FRAME – PLANE – VOLUME
Structure express 3 characters: Frame, to express freedom in activity because of light character and unmassive form; Plane, to devide a space into more spaces; and Volume, the contain of the space itself, ussually use geometric form such as rectangle, etc.

SPACE – STRUCTURE
Various of structure forms determine a certain space with various forms, each structures has own character and of course the shape that created by its structure has own special characteristic. The expression of a building with certain structure created from compositions:

• Point

• Line

• Plane

• Volume





ANATOMY : STRUCTURE / NON ELEMENTS
There is anatomy of building in architecture. This anatomy influence expression and aesthetics of a building visually. Building anatomy is important part to express structures that creates space, there are:

• Lower Part, deal the building with the surface of the earth.

• Middle Part, to connect the horizontal parts.

• Upper Part, constitute building roof which functioned as protector of whole building, especially to cover the space that we use to do some activities.

YWS




Minggu, 08 Agustus 2010

POSISI TEKNO-EKONOMI DI DALAM TEORI ARSITEKTUR VITRUVIUS

Menurut Vitruvius di dalam bukunya De Architectura (yang merupakan sumber tertulis paling tua yang masih ada hingga sekarang), bangunan yang baik haruslah memilik Keindahan / Estetika (Venustas), Kekuatan (Firmitas), dan Kegunaan / Fungsi (Utilitas); arsitektur dapat dikatakan sebagai keseimbangan dan koordinasi antara ketiga unsur tersebut, dan tidak ada satu unsur yang melebihi unsur lainnya. Dalam definisi modern, arsitektur harus mencakup pertimbangan fungsi, estetika, dan psikologis. Namun, dapat dikatakan pula bahwa unsur fungsi itu sendiri di dalamnya sudah mencakup baik unsur estetika maupun psikologis.

Seiring dengan perkembangan jaman, teori arsitektur yang dikemukakan oleh Vitruvius mengalami perkembangan juga. Berakar dari ketiga unsur arsitektur diatas dapat dikembangkan menjadi dua elemen utama yaitu primary dan secondary element yang saling berkaitan. Yang pertama ialah fungsi sebagai primary element yang berkaitan dengan konteks sebagai secondary element. Pada arsitektur modern, fungsi hanya dikaitkan dengan bentuk bangunan saja ( form follows function ), sehingga filosofi tersebut menciptakan keseragaman antara bentuk dan fungsinya. Kekurangannya ialah perhatian terhadap konteks tempat yang terabaikan. Terbukti dengan kegagalan sebuah karya moderen Le corbusier di India yaitu Chandigardh yang tidak memperhatikan konteks lokal setempat sehingga karya tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Yang kedua ialah bentuk ( form ) yang berkaitan dengan struktur. Pemilihan struktur menentukan bentuk yang akan terwujud, begitu juga sebaliknya dalam merancang sebuah bentuk bangunan perlu diperhatikan juga struktur apa yang memungkinkan untuk mendukung bentuk yang direncanakan. Bentuk-bentuk cubisme dapat diwujudkan dengan pemilihan struktur rangka kaku, berbeda dengan bentuk-bentuk lengkung yang dapat didukung dengan struktur yang memiliki kemampuan atau wujud melengkung seperti struktur shell, struktur tabung, dll. Yang ketiga ialah meaning ( arti / maksud ) yang berkaitan dengan will ( keinginan ). Dalam karya arsitektur dewasa ini, ‘arti’ dari sebuah rancangan memiliki peran penting dalam mewujudkan suatu karya yang baik. Dalam hal ini ‘arti’ dipengaruhi oleh keinginan sang arsitek maupun klien. Karya arsitektur yang memiliki arti ( mean ) dapat memadukan keinginan arsitek dan keinginan klien dengan baik.

Tekno Ekonomi dalam arsitektur berhubungan dengan perkembangan teknologi yang berkaitan dengan struktur bangunan dan sumber daya alam maupun manusia dalam mewujudkan suatu karya arsitektur, serta efisiensi dari struktur bangunan sebagai aspek ekonomi yang melekat pada setiap karya arsitektur. Pada teori yang dikemukakan Vitruvius dan perkembangannya tadi bahwa bangunan yang baik harus memiliki keseimbangan antar keindahan, kekuatan, dan fungsi. Keindahan diwujudkan kedalam bentuk dan kekuatan didapat oleh sistem struktur yang memadai. Dengan demikian, posisi tekno-ekonomi di dalam teori arsitektur berada pada lingkup venustas ( keindahan ) dan firmitas ( kekuatan ).

Pada prinsip-prinsip teori arsitektur abad ke-20 dalam buku Le Corbusier’s Legacy, terdapat kategori gerakan arsitektur dengan paham / filosofinya masing-masing yang melahirkan suatu gaya arsitektur tersendiri. Diantara gaya-gaya arsitektur tersebut yang melekat dengan aspek tekno ekonomi ialah expressionism, constructivism, deconstructivism yang kesemuanya terlingkup pada teori arsitektur post-modern. Arsitektur post-modern dengan berbagai paham-paham filosofinya menampilkan karya arsitektur yang diluar tradisi masa kini. Dapat dikatakan karya-karya yang ada sangat mengekspresikan teknologi yang canggih. Ini terbukti dengan karya-karya yang menampilkan bentuk yang meliuk-liuk seperti contoh bangunan museum Guggenheim karya Frank Gehry. Bentuk dan struktur utamanya tentu sangat menuntut suatu teknologi yang canggih agar karya tersebut dapat dibangun.

Dengan demikian, tekno-ekonomi memiliki peran penting dalam perkembangan arsitektur dewasa ini. Perkembangan teknologi memicu adanya sumber-sumber baru baik dari segi struktur bangunan maupun dari segi pemikiran arsitek demi mewujudkan suatu era arsitektur yang baru. Aspek ekonomi yang selalu melekat disetiap bidang khususnya dalam bidang arsitektur selalu mengikuti perkambangan teknologi. Disini, efisiensi merupakan hal yang penting dalam mewujudkan suatu karya arsitektur dengan teknologi yang mutakhir.

EFISIENSI DALAM BANGUNAN BERTINGKAT TINGGI

Sekitar tahun 1930 hingga tahun 1970-an bermunculan bangunan-bangunan pencakar langit bertingkat tinggi di Amerika Serikat. Ini menandakan bahwa telah terjadi kemajuan teknologi yang pesat dalam bidang konstruksi selama 40 tahun tersebut. Diantaranya pembangunan gedung Empire State Building di New York dengan ketinggian lantai mencapai 102 lantai pada tahun 1930, Seagram Building setinggi 42 lantai pada tahun 1957, First National Bank di Chicago setinggi 60 lantai pada tahun 1969, World Trade Center setinggi 110 lantai pada tahun 1972, serta masih banyak bangunan-bangunan tinggi lainnya.



Dari tabel di atas kita dapat melihat perbandingan beberapa bangunan tinggi yang ada di Amerika Serikat dalam kurun waktu 40 tahun. Dari tabel tersebut kita melihat adanya pengelompokan tahun berdirinya bangunan tinggi tersebut dan jumlah lantainya, serta tinggi / lebar bangunan dan berat ( psf ) yang beragam. Pada pengelompokkan bangunan dengan tinggi ratusan lantai terlihat disana berat beban bangunan per m2 yang berbeda-beda. Ini menyatakan ada perubahan teknologi yang pesat. Empire State Building dengan ketinggian 102 lantai memiliki berat beban bangunan sebesar 42,2 psf, sedangkan pada bangunan World Trade Center dengan lantai 110 memiliki berat beban bangunan yang lebih ringan yakni 37 psf. Tentu perkembangan teknologi yang membuat perbedaan ini tampak. Agaknya pemilihan sistem struktur yang tepat serta bahan utama strukturnya menjadi pertimbangan yang penting dalam menentukan ketinggian bangunan dan berat bangunan tersebut.

Dalam tekno ekonomi sangat penting untuk mempertimbangkan faktor efisiensi dalam membangun bangunan tinggi. Pemilihan sistem struktur dan bahan seperti beton / baja turut mempengaruhi ketinggian jumlah lantai yang kemudian dapat ditentukan efisien tidaknya suatu bangunan tinggi itu. Dalam buku Struktur Bangunan Bertingkat Tinggi ( Wolfgang Schueller ), Fazlur Khan mencoba membanding-bandingkan beberapa sistem struktur tersebut berkaitan dengan efisiensi yakni jumlah lantai maksimal serta pemilihan jenis strukturnya agar mencapai pembangunan yang optimal.



Gambar di atas merupakan perbandingan beberapa sistem struktur bangunan bertingkat tinggi antara teknologi beton dan teknologi baja serta perbandingan jumlah ketinggan lantai yang maksimal. Perbandingan tersebut sudah diteliti oleh Fazlur Khan dan memberikan keuntungan pada masa kini dalam menentukan sistem struktur mana yang paling tepat untuk batas ketinggian tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Fazlur Khan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pemilihan sistem struktur pada bangunan tinggi dalam mencapai tingkat efisiensi yang baik.

BANGUNAN TINGGI DI INDONESIA
Indonesia memiliki banyak bangunan tinggi. Sistem struktur yang lazim dipakai ialah sistem struktur rigid frame dan flat slab. Walaupun ketinggiannya tidak sefenomenal bangunan-bangunan tinggi yang ada di Dubai, Cina, Malaysia dan negara-negara asia lainnya namun bangunan-bangunan tinggi di Indonesia patut diperhitungkan dari segi efisiensi dan fungsionalitasnya.

Salah satu contoh bangunan tinggi di Indonesia ialah Wisma BNI 46 di Jakarta. Bangunan ini memiliki ketinggian 262 m (hingga pucuk antena) dengan jumlah lantai sebanyak 48 lantai. Menara dengan fungsi perkantoran ini dirancang oleh Zeidler Roberts Partnership dan DP Architects Ltd.



Berdasarkan tabel perbandingan jumlah lantai dan sistem struktur yang digunakan, bangunan tinggi Wisma BNI 46 termasuk dalam kategori efisien. Sistem struktur utama rangka kaku beton dibandingkan dengan jumlah lantai 48 buah dengan sistem pengkaku tambahan seperti dinding geser merupakan sistem struktur yang cukup tepat dipakai.

Dengan demikian, pemilihan sistem struktur dan bahan utama seperti beton atau baja mempengaruhi efisiensi ketinggian lantai yang optimal. Teknologi beton dan baja sudah berkembang baik dan banyak diterapkan di Indonesia. Dengan perbandingan sistem struktur yang sudah dilakukan oleh Fazlur Khan tentu dapat banyak membantu pembangunan gedung-gedung tinggi di Indonesia dalam mencapai efisiensinya, dan yang penting adalah ‘bagaimana’ bangsa Indonesia terus mengembangkan teknologi tersebut dalam kaitannya dengan issue hemat energi yang dewasa ini melanda seluruh dunia sehingga bangunan tinggi dengan teknologi canggih tidak hanya menjadi icon saja melainkan memiliki keunggulan tersendiri dalam menjawab tantangan issue tersebut.

Kamis, 05 Agustus 2010

ADAPTASI PRILAKU MANUSIA TERHADAP LINGKUNGAN RUMAH SUSUN

Masyarakat Indonesia telah terbiasa dengan perumahan yang menapak di tanah atau yang sering kita sebut dengan istilah landed house. Segala macam budaya, kebiasaan, maupun adat istiadat yang berkaitan dengan tipologi perumahan landed house ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Dengan hamparan tanah yang luas sangat memungkinkan untuk membangun perumahan tipe tersebut, rumah-rumah tradisional maupun modern pada waktu itu dibangun secara horizontal membentuk suatu daerah, linkungan tertentu, maupun yang akhirnya menjadi sebuah desa dan ini terjadi dalam kurun waktu yang panjang. Tentu seiring dengan berjalannya waktu manusia selalu melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungannya terutama lingkungan tempat mereka bermukim, dan kebiasaan yang telah menjadi budaya atau adat istiadat telah terbentuk sedemikian rupa guna menjalankan kehidupannya berhubungan dengan lingkungan perumahan yang terjadi.

Dewasa ini faktanya bahwa wilayah Indonesia terutama di kota-kota besar mulai kehabisan lahan untuk permukiman. Semakin langkanya dan semakin mahalnya harga lahan di kota-kota besar memicu para pengembang di sektor permukiman membangun sebuah hunian vertikal dengan tipologi bangunan yang sudah baku. Maka muncullah suatu tipologi bangunan yang disebut dengan rumah susun, unit-unit satuan rumah susun yang sedianya dibangun secara horizontal kini seolah-olah ditumpuk-tumpuk menjadi satu bangunan tinggi yang utuh. Penyatuan unit-unit rumah ini juga berarti menyatukan budaya atau adat istiadat yang menjadi kebiasaan penghuni rumah itu sendiri. Sayangnya pihak pengembang kurang tanggap dengan hal prilaku manusia terhadap lingkungan perumahannya. Aktifitas-aktifitas pada perumahan landed house tentu berbeda dengan aktifitas perumahan vertikal. Tentu hal ini berkaitan dengan tradisi berarsitektur di Indonesia. Banyak perencana bangunan mengutamakan praktek terlebih dahulu dan kemudian baru disesuaikan dengan teori yang ada dan atau sebaliknya mengutamakan teori yang ada kemudian praktek. Pembangunan rumah susun dewasa ini banyak dibangun dengan teori-teori hunian vertikal yang ada dengan tipologinya yang sudah pasti, sehingga kita banyak menemukan hunian-hunian vertikal yang sama satu dengan yang lainnya. Selama ini pembangunan rumah susun hanya terkonsentrasi pada kebutuhan ruang bagi penghuni saja, tetapi aspek prilaku atau aktifitas yang terjadi justru kurang diperhatikan. Hasilnya banyak ruang-ruang fungsi pada rumah susun yang digunakan tidak sebagaimana mestinya, hal ini semakin menguatkan penyangkalan terhadap teori arsitektur modern yang mengatakan bahwa bentuk mengikuti fungsinya ( form follows function ), tetapi saat ini yang terjadi adalah bentuk memicu fungsi tertentu. Oleh karena itu, proses adaptasi disini menjadi penting bagi masyarakat yang terbiasa menjalankan aktifitas di lingkungan perumahan landed house untuk hidup dilingkungan perumahan yang baru yakni hunian vertikal rumah susun.

Jean Piaget dalam teori perkembangan kognitifnya menerangkan bahwa adaptasi biologi terhadap lingkungan merupakan bagian dari intelegensi seseorang. Ada tiga aspek intelegensi yang dikemukakan oleh Piaget yaitu aspek struktur, struktur & organisasi terdapat di lingkungan, tapi pikiran manusia lebih dari meniru struktur realita eksternal secara pasif. Interaksi pikiran manusia dengan dunia luar, mencocokkan dunia ke dalam “mental framework”-nya sendiri. Struktur kognitif merupakan mental framework yg dibangun seseorang dengan mengambil informasi dari lingkungan & menginterpretasikannya, mereorganisasikannya serta mentransformasikannya (Flavell, Miller & Miller, 1993). Aspek isi, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah. Piaget melihat “isi” kurang penting dibanding dengan struktur & fungsinya, bila isi adalah “apa” dari inteligensi, sedangkan “bagaimana” & “mengapa” ditentukan oleh kognitif atau intelektual. Yang ketiga ialah aspek fungsi, yaitu suatu proses dimana struktur kognitif dibangun. Semua organisme hidup yg berinteraksi dengan lingkungan mempunyai fungsi melalui proses organisasi & adaptasi. Adaptasi terhadap lingkungan terjadi dalam dua cara yakni asimilasi dan akomodasi. Asimilasi mengambil sesuatu dari dunia luar & mencocokkannya ke dalam struktur yg sudah ada, dapat dikatakan bahwa asimilasi merupakan proses penyesuaian lingkungan yang sudah ada dan mencocokannya kepada manusia itu sendiri. Sedangkan akomodasi, organisme memodifikasi dirinya sehingga menjadi lebih menyukai lingkungannya. Ketika seseorang mengakomodasi sesuatu, mereka mengubah diri mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan eksternal. Jadi dapat dikatakan bahwa proses akomodasi merupakan proses penyesuaian diri manusia itu sendiri kepada lingkungannya. Proses adaptasi dengan cara asimilasi dan akomodasi ini yang terjadi pada lingkungan rumah susun. Manusia melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan rumah susun yang merupakan lingkungan baru dengan ruang-ruang dan bentuk tersendiri untuk mencapai keseimbangan ( equilibrium ) antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan.

Dalam Undang-undang tahun 1985 no.16 pasal 1 ayat 1 tentang rumah susun, dijelaskan disana pengertian rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Bagian bersama memiliki pengertian bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama, contohnya ruang koridor, ruang tangga, dsb. Benda bersama memiliki pengertian benda yang bukan merupakan bagian rumah susun tetapi yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama, contoh prasarana dan fasilitas lingkungan. Tanah bersama memiliki pengertian sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan ijin bangunan, contoh ruang terbuka berupa taman bermain, lahan parkir kendaraan, dll.

Adaptasi prilaku manusia terhadap pola permukiman horizontal ( landed house ) menuju pola perumahan vertikal mempengaruhi kondisi sosial psikologis dan prilaku penghuninya. Hal ini tercermin pada fenomena prilaku penghuni rumah susun tersebut. Penghuni rumah susun cenderung bergerak secara horizontal terutama dalam bersosialisai dengan tetangganya. Hal ini menjadikan penghuni hanya aktif mengenal dan berhubungan dengan penghuni satu lantai itu sendiri, kerap terjadi ekslusifitas penghuni antar lantai. Selain itu fasilitas ruang publik pada setiap lantai mendorong penghuni untuk memanfaatkan kepemilikan pribadi. Hal ini sering sekali terjadi pada kebanyakan penghuni-penghuni di rumah susun yaitu mengintervensi zona publik untuk kepentingan pribadi, disini issue abadi arsitektur yakni issue publik-privat muncul. Sedangkan pada fasilitas publik di lantai dasar ( ruang-ruang komunal ) kurang optimal, menjadikan daerah ini menjadi sepi dari aktifitas sosial dan mendorong tumbuhnya prilaku yang kurang baik seperti tindak kejahatan dan sebagainya.

Tinggal di rumah susun merupakan budaya yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia, sehingga seringkali kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan pada lingkungan perumahan horizontal ( landed house ) terbawa ke lingkungan perumahan yang baru yakni perumahan vertikal rumah susun. Berbicara dan menggunakan perangkat audio yang terlalu keras menggangu tetangga kamar maupun penghuni secara keseluruhan. Hal ini merupakan kebiasaan penghuni yang terbawa ke dalam lingkungan tersebut. Deretan unit-unit satuan rumah susun yang berdekatan tidak memberikan keleluasaan bagi masing-masing penghuninya dalam berbicara maupun untuk sekadar memuaskan kebutuhan batinnya dengan mendengarkan musik dalam volume suara yang keras. Disini penghuni dituntut untuk menyesuaikan dirinya agar tidak saling mengganggu tetangganya.

Mengutamakan kepentingan individu dalam menggunakan fasilitas umum seperti, tangga, selasar depan kamar atau unit rumah yang juga berfungsi sebagai akses bagi tetangga, dapur dan kamar mandi umum yang merupakan milik bersama, tempat bermain umum bagi anak-anak, parkir dan fasilitas umum lainnya.



Koridor yang merupakan bagian bersama sering menjadi tempat untuk melakukan kegiatan pribadi bagi penghuni. Koridor kerap kali menjadi tempat bagi bermain anak-anak, selain itu koridor teruatama yang langsung bersinggungan dengan kamar penghuni juga sering menjadi tempat bersosialisasi. Kegiatan yang bersifat privat ini memenuhi koridor tersebut sehingga bagi penghuni lain yang ingin melintasi area tersebut jadi merasa terganggu dan enggan melewati tempat tersebut, sehingga koridor yang merupakan akses utama pada rumah susun tidak berfungsi sebagaimana mestinya ruang milik bersama.

Fenomena lain yang menjadi permasalahan penting dalam rumah susun sehubungan dengan prilaku penghuninya ialah adanya kebiasaan menjemur pakaian. Menjemur pakaian keluar jendela merusak pemandangan dan dapat meneteskan air dari pakaian yang masih basah ke jemuran pakaian yang sudah kering di bawahnya, selain itu tetesan air yang menetes ke dinding rumah susun menjadikan area tersebut lembab dan menimbulkan lumut sehingga merusak kondisi bangunan secara keseluruhan.



Kebanyakan perancangan rumah susun tidak disertai dengan antisipasi kebudayaan masyarakat dalam menjemur pakaian. Tidak tersedianya ruang jemur yang memadai memicu para penghuni untuk menggunakan balkon dengan luas “seadanya” itu untuk menjemur pakaian. Ini mencerminkan masyarakat khususnya di Indonesia yang sebenarnya belum siap menerima konsep rumah susun dan belum mampu sepenuhnya beradaptasi dengan lingkungan rumah susun tersebut.

Masalah lain ialah adanya kebiasaan membuang sampah yang cenderung tidak pada tempatnya. Tanpa disadari membuang sampah atau barang tidak berharga lainnya ke luar yang dapat mengganggu kenyamanan penghuni terutama penghuni lainnya, khususnya penghuni lantai bawah. Kecenderungan manusia yang malas untuk turun kebawah dan membuang sampah memicu tindakan yang dapat merusak lingkungannya ini. Selain itu juga yang kerap menjadi area buangan sampah ialah ruang tangga. Ruang tangga yang cenderung sepi dan tidak banyak terdapat aktifitas di tempat itu menjadi area untuk membuang sampah ( asalkan tidak terlihat oleh tetangga, maka sah untuk membuang sampah di area tangga).

Kesenjangan sosial sesama penghuni juga merupakan permasalahan tersendiri dalam lingkungan rumah susun. Karena terletak saling berdekatan, maka segala kegiatan, harta benda tetangga jelas terlihat, sehingga kerap kali menjadi pergunjingan dan kecemburuan diantara penghuni. Permasalahan pribadi rumah tangga-pun kerap diketahui tanpa sengaja oleh penghuni-penghuni disekitarnya. Seperti yang saya alami sendiri, ketika saya sedang menginap di rumah susun salah seorang kerabat, dikeheningan tengah malam tiba-tiba terdengar teriakan pertengkaran pasangan suami istri yang menghuni kamar beberapa blok dari tempat saya menginap. Hal ini menunjukkan budaya masyarakat kita yang belum cocok untuk tinggal di rumah susun.

Selain itu budaya masyarakat Indonesia yang cenderung saling mengandalkan orang lain membawa kepada permasalahan tertentu yakni, kurangnya kesadaran penghuni dalam memelihara fasilitas umum. Fasilitas umum yang adalah benda dan atau bagian milik bersama dalam lingkungan rumah susun sudah semestinya digunakan dan dipelihara secara bersama-sama pula. Hal ini mungkin juga dipicu oleh rasa kepemilikan pribadi. Barang-barang yang menjadi milik pribadi sudah pasti akan dirawat sebaik mungkin agar tidak rusak, namun rasa kepemilikan barang atau benda yang ternyata dimiliki juga oleh orang lain membuat mereka hanya mau menggunakan dan mengandalkan orang lain untuk merawat dan memeliharanya. Jika memang benar demikian yang terjadi, maka tidak ada titik temu diantara penghuni dan fasilitas umum sudah akan pasti tidak akan bertahan atau rusak.

Dari fenomena-fenomena yang sudah dijelaskan terlihat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mampu menerima konsep tempat hunian vertikal. Perubahan konsep perumahan horizontal menuju konsep perumahan vertikal bukan saja merupakan pernasalahan fisik bangunan yang merupakan pengejawantahan dari keterbatasan lahan yang tersedia dan kebutuhan akan tempat tinggal saja, melainkan memicu perubahan budaya prilaku manusia yang menghuni hunian vertikal tersebut. Jelas, penyesuaian diri ( adaptasi ) melalui cara akomodasi maupun asimilasi yang dilakukan penghuni seiring dengan berjalannya waktu tercermin pada kondisi fisik rumah susun itu sendiri. Dari fenomena yang ada pada lingkungan rumah susun, terlihat adanya proses penyesuaian diri setiap penghuni terhadap lingkungan barunya. Penggunaan koridor untuk kepentingan pribadi maupun balkon atau bagian luar jendela sebagai tempat menjemur pakaian merupakan upaya penghuni untuk menyesuaikan budaya atau kebiasaannya pada lingkungan tersebut. Namun begitu, terdapat pula penghuni-penghuni yang mulai menyesuaikan lingkungannya dengan kebiasaannya sendiri. Proses akomodasi dan asimilasi terjadi disini. Yang pasti, sangat diperlukan bagi penghuni rumah susun untuk beradaptasi dengan lingkungannya yaitu dengan menggunakan ruang-ruang fungsi pada rumah susun seperti yang sudah dimaksudkan.

Pihak lain yang tidak terlepas dari masalah sosial budaya dalam lingkungan hunian vertikal ini ialah pihak perencana ataupun pengembang. Tradisi berarsitektur yang selama ini mengutamakan teori kurang memperhatikan aspek-aspek prilaku manusia yang sudah membudaya dengan konsep hunian horizontalnya. Dengan adanya fenomena lingkungan rumah susun di kota-kota besar di Indonesia ini hendaknya menjadi kasus tersendiri untuk lebih mengembangkan suatu teori yang holistik terutama dalam hal menyelesaikan masalah-masalah sosial budaya serta prilaku pada sebuah bangunan hunian vertikal. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai hubungan yang saling mempengaruhi antara fisik rumah susun dengan penghuninya yang tercermin dari pelakunya, karena didalam merancang sebuah rumah susun harus peka terhadap kondisi sosial budaya penghuninya, dalam rangka adaptasi dari prilaku kehidupan pola perumahan horizontal menuju pola perumahan vertikal yang mempengaruhi kondisi psikologis setiap penghuni.

YWS

Selasa, 03 Agustus 2010

KONTINUITAS SHOPFRONT PADA KORIDOR PERBELANJAAN (sebuah abstraksi)

Pertokoan merupakan elemen penting dalam membentuk suatu kegiatan komersil pada sebuah kota. Kualitas desain pertokoan yang baik mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kualitas dari lingkungan perbelanjaan tersebut. Ketertarikan pembeli pada suatu pertokoan sangat dipengaruhi oleh penampilan dari shopfront pertokoan tersebut. Desain shopfront yang baik merupakan salah satu cara mempromosikan barang dagangan dan aset yang baik bagi sebuah toko. Hal ini merupakan salah satu alasan bagi setiap toko untuk merancang shopfront-nya sedemikian rupa agar menarik perhatian pembeli.

Permasalahan yang terjadi disini ialah bahwa dengan alasan diatas, pertokoan berlomba-lomba untuk merancang shopfront-nya semenarik mungkin tanpa mempertimbangkan kesatuan rancangan shopfront satu sama lain. Hal ini menimbulkan kesan tatanan shopfront yang semrawut, tidak ada kontinuitas yang terjadi pada kawasan perbelanjaan itu. Permasalahan ini terjadi di kota Bandung khususnya pada koridor perbelanjaan Jl. Dalem Kaum. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisa aspek-aspek yang turut mempengaruhi terbentuknya suatu kontinuitas shopfront pada koridor perbelanjaan, serta aktifitas yang ditimbulkan oleh tatanan desain shopfront tersebut.

Karakter dan kontinuitas shopfront pada suatu koridor perbelanjaan ditentukan oleh elemen-elemen desain shopfront itu sendiri. Elemen-elemen desain tersebut ialah fascia ( papan nama toko ), stallriser, pillasters, console, shop window, entrance, dll. Elemen-elemen tersebut biasa dipakai pada pertokoan di luar negeri khususnya di Inggris. Di Indonesia, khususnya pada koridor perbelanjaan Jl. Dalem Kaum Bandung, penggunaan elemen-elemen desain shopfront tidak selengkap seperti yang digunakan di luar negeri, tetapi ditemukan beberapa elemen yang digunakan yaitu fascia, shop window, dan entrance.

Setelah dilakukan penelitian, ditemukan bahwa penggunaan elemen-elemen fascia, shop window, dan entrance tidak konsisten pada tiap-tiap pertokoan di koridor perbelanjaan tersebut. Elemen-elemen desain yang membentuk suatu karakter shopfront itu tidak saling berintegrasi terhadap pertokoan di sekitarnya, dan memutuskan kontinuitas secara fisik dan visual.

Desain shopfront itu juga mempengaruhi aktifitas yang terjadi disekitarnya. Kegiatan yang penting terjadi pada sebuah koridor perbelanjaan ialah akses ke dalam pertokoan dan kegiatan window shopping. Desain shopfront dengan penggunaan shop window dan entrance yang baik memicu terjadinya kegiatan window shopping tersebut. Dan kegiatan inilah yang diharapkan terjadi pada suatu koridor perbelanjaan tanpa terputus kontinuitasnya oleh karena shopfront yang tidak memadai.

Shopfront turut mempengaruhi image dan karakter sebuah koridor perbelanjaan. Sebagai sebuah ruang kota, koridor perbelanjaan perlu memiliki image dan karakter yang baik, serta memberikan fasilitas pertokoan dengan akses yang baik, aman, dan nyaman dalam berkegiatan. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi dengan memberikan pengetahuan tentang pentingnya suatu desain shopfront yang kontinu dalam membentuk suatu image dan karakter yang baik pada sebuah koridor jalan perbelanjaan sebagai ruang kota.

YWS

Senin, 02 Agustus 2010

What Is "Sustainable Development"?




Definition:

"Sustainable development is development which meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs."
~World Commission on Environment and Development

The term sustainable development means that builders, architects, designers, community planners, and real estate developers strive to create buildings and communities that will not deplete natural resources. The goal is to meet today's needs using renewable resources so that the needs of future generations will be provided for.

Sustainable development attempts to minimize greenhouse gases, reduce global warming, preserve environmental resources, and provide communities that allow people to reach their fullest potentials.

Sustainable development will have many, although not necessarily all, of these characteristics:
  • Green architecture and eco-friendly building practices
  • Local building materials
  • Natural, bio-degradable building materials
  • Local workers
  • Renewable sources for water
  • Renewable energy sources such as solar and wind
  • Protection of natural habitats
  • Planned replacement for any resources used
  • Non-polluting construction practices and industries
  • Walkable communities
  • Mixed-use communities that combine residential and commercial activities
  • New Urbanism
  • Adaptive reuse of older buildings
  • Use of recycled architectural salvage
The emphasis of sustainable development is on the conservation of environmental resources. However, the concept of sustainable development is often broadened to include the protection and development of human resources. Communities founded on principles of sustainable development may strive to provide abundant educational resources, career development opportunities, and social services.

Also Known As:
sustainable design, green architecture, eco-design, eco-friendly architecture, earth-friendly architecture, environmental architecture, natural architecture

Examples:
The Villages of Loreto Bay in Loreto Bay, Mexico is promoted as a model of sustainable development. The community claims to produce more energy than it consumes and more water than it uses. Some environmentalists charge that the developers' claims are overstated.

Sumber: http://architecture.about.com/od/greenconcepts/g/sustainable.htm

What Is "Green Architecture" and "Green Design"?




Definition:

Green architecture, or green design, is an approach to building that minimizes harmful effects on human health and the environment. The "green" architect or designer attempts to safeguard air, water, and earth by choosing eco-friendly building materials and construction practices.

Green architecture may have many of these characteristics:
  • Ventilation systems designed for efficient heating and cooling
  • Energy-efficient lighting and appliances
  • Water-saving plumbing fixtures
  • Landscapes planned to maximize passive solar energy
  • Minimal harm to the natural habitat
  • Alternate power sources such as solar power or wind power
  • Non-synthetic, non-toxic materials
  • Locally-obtained woods and stone
  • Responsibly-harvested woods
  • Adaptive reuse of older buildings
  • Use of recycled architectural salvage
  • Efficient use of space
While most green buildings do not have all of these features, the highest goal of green architecture is to be fully sustainable.

Also Known As:
Sustainable development, eco-design, eco-friendly architecture, earth-friendly architecture, environmental architecture, natural architecture

Examples:
The Magney House: Energy-conserving home by Australian architect Glenn Murcutt
LEAFHouse: A vine-covered solar house designed by students from the University of Maryland
Katrina Cottage: Low-cost and energy-efficient emergency pre-fab housing
Solar-Powered Victorian: A historic inn with high-tech photovoltaic panels
Earth House: This home in Loreto Bay, Mexico is made with compressed earth blocks

Sumber: http://architecture.about.com/od/greenconcepts/g/green.htm

Apakah Kita Perlu Membangun Bangunan Tinggi Seperti Empire State Building ? Kenapa Indonesia Tidak Membangun Bangunan Pencakar Langit ?




Bangunan tinggi Empire State Building telah menjadi salah satu icon tersendiri di Amerika Serikat khususnya kota New York. Dibangun dengan ketinggian mencapai 102 lantai dengan struktur utama rigid frame pada tahun 1931, bangunan ini dinilai sebagai kemajuan teknologi dalam bidang konstruksi pada saat itu. Empire State Building kemudian dinobatkan sebagai bangunan tertinggi di dunia, dan bertahan selama kurang lebih 40 tahun sampai berdirinya menara kembar World Trade Center pada tahun 1972. Seiring dengan perkembangan zaman dan pengetahuan teknologi konstruksi yang semakin berkembang, bangunan-bangunan pencakar langit lainnya bermunculan seperti Sears Tower, Menara Petronas di Malaysia, dan yang belakangan ini sedang hangat dibicarakan yaitu Al Burj Dubai yang sangat fenomenal.

Melihat prestasi Amerika Serikat yang sudah dapat mendirikan bangunan tinggi pada tahun 1931 merupakan hal yang luar biasa. Bangunan dengan ketinggian 381 m tersebut bahkan sudah berdiri sebelum Indonesia merdeka. Dan sampai saat ini, belum ada bangunan pencakar langit setinggi itu di Indonesia. Ini menunjukan bahwa kita bangsa Indonesia sudah tertinggal selama kurang lebih 80 tahun dari Amerika Serikat. Lalu muncul pertanyaan yang juga menjadi issue pembahasan dari tulisan ini yaitu Apakah perlu kita membangun bangunan setinggi 100 lantai demi mengejar ketertinggalan teknologi konstruksi dari Amerika Serikat?

Menurut saya, kita tidak perlu membangun bangunan setinggi 100 lantai atau lebih demi mengejar ketertinggalan kita dari Amerika Serikat dan menunjukkan pada dunia bahwa bangsa kita sudah maju dalam hal teknologi konstruksi. Tahun 1931 hingga tahun 2010 merupakan kurun waktu yang sangat panjang. Telah terjadi kemajuan yang pesat dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang konstruksi. Issue mengenai teknologi sudah berubah, teknologi zaman dulu yang disebut juga teknologi fosil kini sudah berganti menjadi teknologi tata surya. Bahan baku konstruksi seperti beton, baja, ataupun baja ringan kini sudah menjadi hal yang biasa. Jenis struktur yang umum dipakai dalam membangun bangunan tinggi seperti rangka kaku ( rigid frame ), dinding geser ( shear wall ), rangka di dalam rangka ( tube in tube ),dan sebagainya jika diterapkan pada saat ini sudah tidak menunjukkan kemajuan teknologi yang berarti, karena di beberapa negara maju dan berkembangpun telah menerapkan sistem teknologi seperti ini. Bukan berarti kita tidak boleh membangun bangunan pencakar langit. Belakangan ini terdengar kabar bahwa Indonesia akan memiliki gedung pencakar langit yaitu Menara Jakarta. Kabarnya menara tersebut memiliki ketinggian 558 m dan direncanakan selesai didirikan pada tahun 2012. Hal ini tentunya akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia.

Apa yang kita hadapi saat ini adalah krisis energi, pemanasan global dan krisis sumber daya alam lainnya. Mengacu pada krisis energi listrik misalnya, belakangan ini sudah banyak dibicarakan tentang panel photovoltaic yang dapat diterapkan dibangunan perumahan. Panel tersebut merupakan alat pembangkit tenaga listrik melalui tenaga matahari. Tenaga matahari tidak akan habis dan gratis, ini berarti penggunaan photovoltaic dapat menghemat biaya operasional dan dapat menjadi pilihan dalam upaya menghemat energi. Suatu jawaban terhadap tantangan krisis pada saat ini dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan teknologi.

Jadi menurut saya, untuk menunjukkan bahwa bangsa kita sudah maju dalam bidang teknologi ialah dengan mengembangkan suatu teknologi yang mampu menjawab tantangan masa kini. Dengan pengetahuan-pengetahuan yang ada pada saat ini kita dapat mengembangkan suatu teknologi yang hemat energi khususnya dalam bidang arsitektur dengan menerapkan teknologi tata surya pada perumahan maupun pada bangunan tinggi. Tentunya pengembangan teknologi tidak sebatas pada tata surya saja, sumber daya alam lainnya seperti angin, thermal, air dan sebagainya dapat diolah menjadi sumber energi yang mampu menghemat biaya operasional sebuah bangunan.

Dari uraian pada halaman sebelumnya, dijelaskan jika kita bangsa Indonesia tidak perlu membangun bangunan pencakar langit demi mengejar ketertinggalan kita di bidang teknologi konstruksi. Issue tantangan krisis energi yang dewasa ini menjadi permasalahan yang penting dan perkembangan teknologi yang pesat dalam menjawab tantangan krisis tersebut menjadi pertimbangan untuk tidak membangun bangunan tinggi, melainkan cenderung lebih kepada mencari cara untuk mengatasi krisis tersebut. Kemudian muncul suatu pertanyaan yang akan menjadi pembahasan selanjutnya, “ Kenapa negara-negara berkembang / negara-negara maju terus membangun bangunan tinggi / pencakar langit pada saat ini ? “

Peradaban manusia memang tak henti-hentinya membangun bangunan tinggi. Dimulai dengan Piramid Giza dan Taman Gantung di Babylonia ribuan tahun lalu, menara Eiffel pada akhir abad 19, sampai gedung Empire State Building pada awal abad 20. Sejak itulah muncul bangunan-bangunan tinggi pencakar langit lainnya seperti CN Tower, Sears Tower, Petronas Tower dan yang terakhir Burj Dubai.

Bicara bangunan pencakar langit berarti bicara gengsi, kebanggaan, dan juga tourism / pariwisata. Keberadaan gedung pencakar langit di Indonesia tentunya membawa kebanggan tersendiri dan menghasilkan devisa negara. Bangunan tinggi juga merefleksikan kekuatan politik dan ekonomi suatu negara. Mendirikan suatu bangunan tinggi pencakar langit seperti Burj Dubai atau Empire State Building bukanlah masalah mensiasati lahan yang semakin sempit / terbatas dan memiliki harga yang mahal. Jelas prestis dan kebanggaan untuk menjadi negara yang iconic-lah yang menjadi alasan didirikannya bangunan-bangunan pencakar langit.

Permasalahannya apakah Indonesia benar-benar membutuhkan menara setinggi 100 lantai atau lebih? Secara teknis tak banyak orang yang ingin tinggal atau bekerja di level lantai yang terlalu tinggi. Semakin tinggi lantai sebuah bangunan, semakin tinggi juga biaya sewanya. Hal ini membatasi segmen pasar pada orang-orang kalangan atas yang jumlahnya tidak banyak di Indonesia. Lalu akan diisi dengan fungsi apa bangunan tersebut kalau aktifitas yang ada tidak menuntut ruang setinggi bangunan pencakar langit.

Faktor ekonomi juga menjadi masalah tersendiri. Dengan berdirinya suatu gedung pencakar langit menandakan perekonomian suatu negara yang kuat. Namun, beberapa fakta menunjukkan adanya krisis ekonomi ketika suatu bangunan tinggi selesai dibangun. Misal, ketika Empire State Building dibangun, beberapa tahun kemudian Great Depression malah melanda Amerika dan pengaruhnya menyebar ke seantero dunia. Setelah Sears Tower dan World Trade Center kelar, ekonomi Amerika tersungkur dan pengangguran meningkat tajam dekade itu. Ketika Petronas Tower dibangun, krisis moneter meluluhlantakkan Asia. Dan bahkan ketika BNI Tower dibangun, setahun kemudian kita dihajar krisis moneter.

Jadi menurut saya, kebanggaan dan prestis-lah yang menjadi alasan utama negara-negara berkembang dan negara-negara maju terus mendirikian bangunan pencakar langit disamping mendatangkan devisa. Karena kalau dilihat dari segi ekonomi, Dubai-pun sedang dililit hutang yang angkanya mencapai ratusan milliar dollar AS ketika membangun bangunan pencakar langit Al Burj. Jadi, icon berdirinya bangunan pencakar langit tidak selalu menandakan kondisi perekonomian yang kuat pada suatu negara. Menurut saya, proposal desain dan perhitungan keuntungan bangunan tinggi dalam jangka panjang berperan penting untuk meyakinkan pemerintah negara dalam mendirikan bangunan pencakar langit tersebut. Namun demikian, untuk keuntungan jangka panjang kita dapat mengembangkan suatu teknologi pada bangunan tinggi yang hemat energi. Contoh seperti yang dikembangkan oleh Kenneth Yeang, yaitu arsitektur bioklimatik. Arsitektur ini memperhatikan lingkungan merupakan arsitektur masa depan, karena dalam arsitektur jenis ini akan didapatkan penyelesaian yang baik untuk menanggapi iklim tanpa menggunakan lebih banyak resource sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui seperti minyak bumi untuk mempertahankan kondisi ideal bangunan, misalnya suhu, kelembaban, serta pencahayaan dan penghawaan.

YWS



Uang Rp 1000,- Mau diBikin Jadi Rp 1,- ???



Pernahkan anda membayangkan untuk menerima gaji sebesar Rp 1.500 per bulan? Ya, kemungkinan besar hal tersebut akan terjadi kira-kira 5 tahun kedepan jika saat ini gaji anda sebesar Rp 1,5 juta.

Pasalnya, Bank Indonesia (BI) tengah melakukan pembahasan internal untuk dapat melakukan redenominasi. Redenominasi yaitu pengurangan nilai pecahan tanpa mengurangi nilai dari uang tersebut. Kasarnya, angka nol dalam sebuah pecahan akan dikurangi, jika dikurangi 3 angka nol maka Rp 1.000.000 akan menjadi Rp 1.000.

'Redenominasi itu prosesnya akan dibicarakan dulu dengan pemerintah dan presiden dan harus melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru kita sosialisasikan,' ujar Gubernur Bank Indonesia terpilih Darmin Nasution di Gedung Bank Indonesia, Jalan MH Thamrin, Sabtu (31/07/2010).

Darmin menuturkan, pihaknya akan segera menyampaikan hasil final pembahasan internal kepada pemerintah di tahun 2010. 'Belum bisa diputuskan sekarang berapa angka nol yang dikurangi apakah 3 atau 4 namun hasil pembahasan akan diusahakan disampaikan ke pemerintah tahun 2010 ini,' jelas Darmin.

Pada kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Bank Indonesia S Budi Rochadi mengatakan, dalam melakukan redenominasi membutuhkan waktu antara empat sampai lima tahun.

'Prosesnya tidak singkat, harus membutuhkan 4 sampai 5 tahun,' katanya.

Menurut Budi, diperlukan adanya penarikan uang secara bertahap yang beredar di masyarakat. Seperti diketahu uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini Rp 100.000.

Uang rupiah saat ini tercatat mempunyai pecahan terbesar kedua di dunia, terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500.000 Dong. Namun tidak memperhitungkan negara Zimbabwe, negara tersebut pernah mencetak 100 miliar dollar Zimbabwe dalam satu lembar mata uang.

Budi menuturkan, untuk bisa melakukan penyederhanaan satuan uang tersebut membutuhkan sejumlah persyaratan. Setidaknya ada tiga syarat yang mutlak dipenuhi yaitu kondisi perekonomian yang stabil, inflasi rendah dan stabil, serta adanya jaminan stabilitas harga.

'Hal yang paling sulit dilakukan dengan cepat dan mudah adalah sosialisasi kepada seluruh masyarakat Indonesia yang mencapai ratusan juta jiwa,' tukasnya.

sumber: detik

Minggu, 01 Agustus 2010

KONFLIK RUANG PUBLIK PADA RUANG JALAN PERKOTAAN



Arsitektur perkotaan tidak hanya berupa massa padat tetapi juga merupakan ruang-ruang yang terbentuk dari tatanan massa padat itu sendiri. Ruang jalan merupakan bagian dari ruang kota ( ‘urban space’ ) yang biasanya terbentuk oleh muka bangunan dan lantai kota. Dengan demikian ruang jalan sebagai ruang kota yang mengakomodasi kegiatan publik perlu mendapatkan penataan dengan kualitas yang baik.

Secara normatif ruang jalan merupakan domain publik yang memang semestinya diciptakan untuk masyarakat dalam melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain baik itu dengan berjalan kaki, maupun dengan berkendaraan. Oleh karenanya suatu ruang jalan harus mampu mewadahi kegiatan tersebut dengan baik. Namun kenyataannya, ruang jalan kerap kali dimanfaatkan oleh kegiatan lain. Sektor informal sering kali mengintervensi ruang yang seharusnya milik publik menjadi miliknya sendiri seolah-olah ruang tersebut merupakan ruang privat bagi mereka. Konflik publik-privat seperti ini tak dapat dipungkiri terjadi di kota-kota besar di Indonesia, dan penyebab terjadinya konflik tersebut bukan saja karena persoalan rancangan fisik ruang jalan itu sendiri melainkan terlibat didalamnya masalah sosial, kebudayaan masyarakat, dan faktor ekonomi.

Contoh pada suatu koridor perbelanjaan di kota Bandung yaitu jalan Dalem Kaum dan jalan Kepatihan. Koridor perbelanjaan ini merupakan sebuah ruang jalan yang aktif. Kegiatan pejalan kaki untuk melakukan aktifitas window shopping dan pengguna kendaraan dalam berlalu lintas sudah semestinya dapat terwadahi dengan baik. Namun pada keyataanya, telah terjadi penyalah-gunaan fungsi trotoar sebagai wadah untuk pejalan kaki dan badan jalan untuk berkendaraan. Pada trotoar yang sedianya diciptakan untuk pejalan kaki dipenuhi oleh pedagang kaki lima, sehingga ruang untuk berjalan kaki semakin sempit dan tidak nyaman digunakan. Pejalan kaki harus bergeser ke tepi badan jalan untuk melakukan aktifitasnya dan rawan konflik dengan kendaraan yang menggunakan badan jalan tersebut. Tidak berhenti sampai disitu, ternyata kurangnya sarana parkir menjadikan badan jalan sebagai ruang parkir kendaraan, sehingga ruang efektif jalur kendaraan semakin menyempit dan arus lalu lintas menjadi tersendat.




Dengan demikian, diperlukan suatu rancangan fisik ruang jalan khususnya pada koridor perbelanjaan yang dapat mewadahi kegiatan pejalan kaki dan berlalu lintas dengan baik, sehingga tidak terjadi penyalah-gunaan fungsi pada koridor jalan tersebut. Penggunaan badan jalan sebagai sarana parkir dan keberadaan pedagang kaki lima tidak bisa dihilangkan begitu saja, perlu diciptakan suatu wadah yang dapat menampung kegiatan mereka sehingga tidak mengganggu kepentingan publik secara keseluruhan. Selain rancangan ruang fisik jalan itu sendiri, pengelolaan dan pengawasan menjadi faktor penentu keberhasilan dalam mempertahankan fungsi raung jalan sebagai sarana pejalan kaki dan kendaraan. Terlebih perhatian diberikan kepada penyandang cacat yang memiliki tuntutan khusus dalam melakukan pergerakannya pada ruang jalan tersebut.

YWS

HOUSE AS THE OWNER IDENTITY REFLECTION

Architecture could defined as an knowledge that creates a place consist function and aesthetics, and also need an inspection about human behavior. The unification between human behavior and architecture itself is a physic-environment architecture design. In this case, architecture can function as fasilitator of human behavior either or blocked the human behavior itself.

Human behavior belief as an unmeasurable things. Related to phsycology, human behavior can classified into two aspects. Behavior in plain view ( sitting, sleeping, talking, etc ) and behavior unplain view ( motivation, attitude, etc ). Those behavior indicate an existention of human being, that is interaction of human with others and also interaction of human and its surrounding.

Considering the reality that imagination and idea, or something has planned in architectural design can be different after occupied in function aspect. Therefore, we need to learn about human behavior in designing a place for them. Abraham Maslow, 1943, has classified a stages of hierarchy of needs:



• Physiological needs


• Safety / security needs


• Social ( belonging ) needs


• Ego ( esteem ) needs


• Self-actualization




Those levels have to be fulfilled from below before it can reached the next level of human needs. This hierarchy of needs influence the development of architecture and became certain culture in human behavior in order to shape they surrounding and buildings.

According to Maslow, human being are never satisfied with their achievement. After one need fulfilled then another higher need will appear, and they are try to reach it. The most basic need is physiological need. Physiological need is the basic need which have to fulfilled for maintaining human’s life such eat, drink, sleep that can influence mind and also attitude. Human being can not satisfied and feel uncomfortable when this basic need not fulfilled yet. Safety / security need, this level can reached after the physiological need fulfilled. Safety / security include feeling safe from crimes, economic, health, and freedom of fear. Social ( belonging ), human being need love, they will create a family to love, friendship with others, join an organization, etc. Ego ( esteem ), this kind of need is about to be accept or respect by others, and want to give contribution to other people in their job either or in their surrounding. The highest need is self actualization. This need can be reached after the all needs below have fulfilled. People in self actualization level are creative people, spontaneus, love to solve a problem, have an authority, accept all reality, and respect to their own life.



According to Van Romandt, architecture is a space for human being to live with happiness feeling. Also we can say that a house is a place that human being live in with happiness feeling. Happiness in architecture related to human behavior is difficult to define. However, maslow’s hierarchy of needs can help to describe about happiness and its relation in architecture development specifictly in order to shape a house.

According to Maslow’s hierarchy of need, after human being have fulfilled the basic needs, then necessity of a house is one of human motivation to reach a better high quality of life. With the possession of a house, even though it is a small house, authentically the owner has had a control about the space which can be arranged suitable for them. The space will give a response to the owner and so does the owner give response to their space. So, there is a connection in both sides in order to create a comfortable place in the house. Not only to avoid the weather such as rain and sunshine, but also too give composure, happiness, and even to create a memory about whole things on their lives.

A house can reflect the identity of the owner. In this case, people ussually judge the other people based on their property. Material achievement became a symbol of success. But as we know, house is more than material success, house is a necessity. In hierarchy of needs, house is in the basic need. No matter how good or bad the condition of the house, people need it as a shelter from their surrounding threats. And after the basic need has fulfilled, then human being begin to develop their house into a better house, either on the condition ( exterior house ) or inside the house ( activities ). Refers to the photos in page before, we could see exteriorly the different between the house that has fulfilled the hierarchy of needs and the one that not fulfilled yet. A house should reflect prosperity of the owner, and also the hierarchy of needs can be the indicator of the prosperity of human being.

However, there is an aspect that hierarchy of needs can not be seen as a material success achievement. Happiness, as Van Romandt said, is an important thing to create architecture in order to shape a house. In this case, people do not have to fulfilled a certain level to reach the next level or reach a couple levels above. For example, people do not have to fulfilled the physiological and safety needs to reach a social ( belonging ) need, it can be run simultaneously. It is about how people feel sufficient or feel happy about their lifes and property. So, we can not say that simple small house mean the owner not fulfilled the hierarchy of needs yet. Or we can say, the owner have sufficient with finished in social ( belonging ) level, so they don’t have to move to other higher level such esteem and self actualization needs. Therefore, hierarchy of needs has a strong relationship with human being’s happiness. Shape of the house can be considered through hierarchy of needs and happiness of the owner.

YWS

Persoalan Besar di Balik Menara Dubai

Persoalan Besar di Balik Menara Dubai



Selama tiga hari pertama setelah Menara Dubai atau Burj Khalifa dibuka untuk publik, sekitar 10.600 orang naik lift mencapai dek observasi di lantai 124. Terkumpul bayaran total 280.000 dollar AS atau sekitar Rp 2,66 miliar.


Di sekeliling menara, hari demi hari, ribuan pengunjung berdesakan berebut posisi difoto di depan kilauan menara setinggi 818 meter itu. Mereka bersukaria terpesona keberanian Dubai membangun Burj Khalifa, bangunan tertinggi sejagat saat ini.


Menara itu menjadi sosok “kenakalan” Dubai menarik investasi, sekalipun sebenarnya negeri ini sedang terpuruk secara finansial. “Bangunan ini menunjukkan bagaimana kekayaan sedang bergerak dari Barat ke Timur,” kata Prajash Kelkar, yang sudah 11 tahun tinggal di Dubai. Tidak khawatir akan situasi keuangan, dia pun berkata, “Inilah kebanggaan Dubai.”


Tidak ada pertanyaan dan pernyataan yang mencemooh pemerintah Dubai. Sekalipun masih dikepung berbagai kemelut ekonomi dan keuangan, pemerintah Dubai tetap memusatkan diri untuk merampungkan proyek “ironis” ini, demikian mereka menyebutnya.


Dubai sebenarnya sedang dililit utang yang diperkirakan mencapai 100 miliar dollar AS, ledakan real estat yang kian mengkhawatirkan, buramnya dunia investasi yang mengecewakan para investor. Keberhasilan mengatasi berbagai masalah sebenarnya tidak cukup diwakili oleh satu bangunan yang menjulang tinggi membelah langit biru. Masalahnya justru ini: masih banyak bangunan tinggi yang gagal dirampungkan karena krisis keuangan.


Kota Internasional (International City)—salah satu kawasan megaproyek Dubai—adalah contoh runtuhnya proyek real estat. Kawasan ini menjadi simbol rontoknya pasar perumahan. Pihak yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan pelayanan jasa kawasan menderita kerugian besar karena kekurangan uang tunai, lalu tenggelam dalam utang, dan pailit.


Pembangunan di kawasan seluas 800 hektar tersebut, yang dilukiskan akan menjadi pusat bisnis dan budaya Timur Tengah, telah tersungkur ke dalam kebangkrutan. Seluruh apartemen hampir kosong sama sekali. Begitu pula deretan pertokoan, kosong melompong. Bisnis penyewaan gedung, apartemen, termasuk pertokoan, pailit.


Di berbagai pelosok kota, puing konstruksi yang belum rampung berserakan. Angka kejahatan meningkat, dan ribuan buruh mengeluhkan upah rendah. Banyak keluarga mengaku terjebak dalam berbagai kesulitan ekonomi dan keuangan. Apalagi, setelah membeli rumah atau apartemen secara kredit mereka tidak mampu mencicilnya. Bahkan, lampu lalu lintas banyak yang tidak berfungsi karena tidak bisa diperbaiki lagi.


Tidak seorang pun yang meramalkan Dubai akan tumbuh menjadi “pot” Kota Internasional. Para analis keuangan mengatakan, persoalan yang berserakan di Kota Internasional itu kemungkinan besar mewakili berbagai kemelut yang segera datang. Sebab, pada saat ini Dubai masih terjebak dalam berbagai kemelut itu, sesuatu yang sangat besar yang tidak bisa dikelabui begitu saja oleh kehadiran sebuah menara tinggi.


Pembangunan besar-besaran sebelumnya, seperti Dubai Mall, dengan akuarium yang dipenuhi ikan hiu, wahana bermain ski es, dekorasi air mancur, bioskop layar lebar, dan ribuan toko, juga menjadi masalah besar. Banyak orang tidak bisa lagi berusaha karena mereka membutuhkan banyak uang untuk membayar utangnya.


Raj Kuwar, pemilik Pasar Sky Grocery, mengatakan, banyak orang meninggalkan Kota Internasional. Usahanya turun 30 persen dari tahun lalu, tapi bisnis lain, seperti pelacuran, menggeliat bangun. “Gadis-gadis banyak yang pindah ke kawasan ini karena biaya sewa lebih murah,” tambahnya.


Abu Dhabi, ibu kota Uni Emirat Arab, sebenarnya berada di “kolam” minyak. Namun, kilauan Burj Khalifa tidak mampu menerangi berbagai keterpurukan Dubai saat ini. (kompas.com, 16/1/2010)



Pemanfaatan Energi Alternatif Pada Desain Arsitektur

Berikut ini saya tampilkan sebuah poster yang saya buat sendiri sehubungan dengan tugas kuliah saya. Poster ini berisikan suatu teknologi mutakhir yang aplikatif terhadap desain arsitektur sehubungan dengan issue hemat energi. Selamat membaca, merenungkan, memberi komentar, dan bertindak!

Desain-desain Arsitektur yang pernah dikerjakan pada Tahun 2009