Rabu, 20 Oktober 2010

PROBLEM SUBYEK-OBYEK DALAM PROSES KREATIFITAS

Merancang, baik dalam bidang arsitektur maupun dalam bidang-bidang perancangan lainnya, merupakan sebuah tindakan pencarian bentuk ideal yang melibatkan kreatifitas seseorang (perancang). Kreatifitas seseorang sangat ditentukan oleh pengetahuan yang ia miliki, tidak serta merta mengandalkan kepada ilham semata. Pengetahuan yang dimiliki serta pengetahuan yang ada di dunia yang berpengaruh kuat dalam proses kreatifitasnya. Dalam hal ini, pikiran atau pengetahuan pribadi seseorang sebagai subyek akan terus berkesinambungan dengan pengetahuan-pengetahuan yang tertera di dunia luar sebagai obyek. Akan selalu ada dualitas dalam proses kreatifitas yang muncul dari problem subyek-obyek yakni antara ilmu pengetahuan (knowing/science) dan kreasi (creating/art).



Dalam kaitannya dengan pikiran pribadi sebagai subyek dan dunia sebagai obyek, ilmu pengetahuan dan kreasi memiliki arah dan pemahaman yang berbeda. Ilmu pengetahuan (knowing) lebih menekankan pada pentingnya informasi dari dunia luar daripada faktor perancangnya, dimana sang perancang secara pasif menemukan bentuk eksternal. Sedangkan kreasi (creating) lebih menekankan pada pentingnya pemikiran perancang daripada faktor-faktor lainnya, dimana sang perancang secara aktif mengekspresikan kekuatan pribadinya tanpa mempertimbangkan kendala luar.


Pemahaman atau pengertian tentang knowing dan creating itulah yang kemudian memunculkan teori-teori yang berkaitan dengan masalah subyek-obyek dalam proses kreatifitas. Teori-teori tersebut ialah positivisme yang setara dengan empirisisme, romantisme yang setara dengan idealisme, dan klasikisme yang setara dengan rasionalisme. Positivisme-empirisisme, menekankan pentingnya fenomena luar tanpa intervensi pemikiran seseorang. Positivist berpendapat bahwa faktor-faktor luar secara otomatis masuk kedalam pikiran seseorang, yaitu menemukan bentuk yang secara samar ada dalam kendala-kendala luar dari program desain tanpa menunjukan konsep tentang bentuknya sendiri. Romantisme-idealisme, menganggap bahwa sumber bentuk ada dalam diri sang perancang, selaras dengan kemampuan, inspirasi dan kejeniusannya, dan sering mengabaikam faktor eksternal. Teori ini menekankan pada pengolahan sumber-sumber yang ada dalam diri sang desainer (subyek). Klasikisme-rasionalisme, bahwa sumber bentuk dapat ditemukan di luar pikiran sang perancang, yaitu elemen-elemen yang ada di dunia luar. Namun, bentuk inipun tidak muncul begitu saja, selalu ada peran perancang, dimana sang perancang awalnya mengambil inspirasi dari faktor-faktor eksternal juga.




Dalam arsitektur, teori-teori yang tercipta dari dualitas pikiran sebagai subyek dan dunia sebagai obyek ini juga mempengaruhi proses kreatifitas arsitek-arsitek besar dalam menghasilkan karya-karyanya yang terkenal. Terdapat contoh-contoh arsitek dengan karya-karyanya yang merupakan pengaruh dari pemikiran-pemikiran seperti yang sudah dijelaskan pada diagram di atas. Pada teori positivisme-empirisme misalnya, arsitek ternama seperti Hector Guimard dan Eero Saarinen mengambil bentuk-bentuk yang ada pada lingkungan alam seperti bentuk bunga, serangga, juga bentuk-bentuk mahkluk hidup lainnya, dan menerjemahkannya seacara langsung kedalam gubahan masa bangunannya. Contoh entrance stasiun Metro di Paris oleh Guimard, mengambil bentuk gabungan bunga dan serangga. Sedangkan Saarinen mengambil bentuk burung yang sedang mengepakan sayapnya untuk siap terbang, pada bangunan Bandara TWA (1956-1962) JFK, di New York.

Pemikiran atau teori tentang klasikisme-rasionalisme juga mempengaruhi arsitek-arsitek terkenal dalam perancangannya, misalnya Antoni Gaudi dan Frank L. Wright. Bangunan Casa Mila di Spanyol karya Gaudi, mencoba mengkonsepkan gubahan massa yang berangkat dari alam / kehidupan dan diperkaya dengan abstraksi dari ekspresi dan imajinasi bebas. Dilain pihak Gaudi mencoba menerapkan bentuk-bentuk alam seperti gelombang laut ataupun bentuk-bentuk gua, dilain pihak Gaudi mencoba mengambil bentuk-bentuk alam itu dengan memadukan ide-ide kreatifnya. Begitu juga dengan Frank L. Wright dengan karyanya yakni ‘Falling Water’, sebuah rumah tinggal hasil dari pemikiran sang arsitek yang menggali potensi-potensi alam dan memadukannya dengan ide-ide pemikirannya untuk menemukan sebuah gubahan massa yang ideal dan cocok untuk lokasi tersebut.

Pada teori atau pemikiran yang romantisisme-idealisme kita dapat melihat karya-karyanya pada arsitektur masa kini. Banyak bangunan-bangunan modern futuristik ataupun bangunan-bangunan dengan arsitektur post-modern lahir dari pemikiran-pemikiran pribadi sang arsitek tanpa harus banyak pertimbangan tentang dunia luar. Karya-karya yang lahir dari pemahaman idealisme ini seringkali merupakan karya-karya yang monumental. Mengambil bentuk-bentuk yang futuristik (visioner), belum pernah ada sebelumnya, tetapi kebanyakan orang yang melihatnya tidak paham, konsep apa yang ada pada bangunan tersebut. Frank Gehry dengan karyanya Guggenheim Museum di Bilbao, dan Rem Koolhaas dengan CCTV-nya di China merupakan contoh arsitek yang banyak dipengaruhi pikiran idealisme-nya dalam merancang. Terlepas dari baik buruknya rancangan mereka, tetap diakui sebagai arsitek-arsitek yang memiliki ide, pemahaman, kejeniusan pribadi yang sangat kuat.

Dengan demikian, keterlibatan pikiran pribadi dan pengetahuan dunia luar akan terus menyertai proses kreatifitas seseorang dalam merancang. Ilmu pengetahuan dan kreasi bukan saling meniadakan, tetapi justru saling melengkapi. Tinggal dalam pemahaman apa sang perancang mau berdiri, positivisme-empirisisme, klasikisme-rasionalisme, atau romantisisme-idealisme. Tetapi yang pasti disini bahwa pemahaman teoritis baik itu berupa sejarah maupun pengetahuan terkini, merupakan hal yang sangat penting dalam perancangan, dan pemahaman tersebut dapat dikembangkan / ditingkatkan melalui faktor-faktor eksternal maupun dengan cara pengolahan sumber-sumber daya yang ada dalam pribadi sang perancang.

YWS

Man Made World VS Nature

                                                  “………a quest into human compulsion to create architecture rahter than simply functional shelter.”


Pernyataan di atas membawa pikiran kita kepada manusia mula-mula dalam menghadapi tantangan alam dan interaksinya untuk bertahan hidup. Sudah tentu jika kita dihadapkan dengan pertanyaan mengapa kita menciptakan tempat tinggal lebih dari sekadar sebagai tempat bernaung, maka kita memiliki banyak dan beragam alasan. Dari alasan yang bersifat ‘kebutuhan’ hingga ‘keinginan’, ‘sementara’ hingga ‘abadi / langgeng’, sampai kepada alasan yang sifatnya ‘status sosial’ bisa jadi merupakan alasan mengapa kita menciptakan arsitektur. Namun bagaimana dengan manusia zaman dahulu, ketika manusia masih hidup nomaden, sudah tentu tempat tinggal menjadi suatu hal yang sifatnya sementara dan tidak memiliki arti atau fungsi lebih dari sekadar tempat berteduh. Adanya tekanan atau dorongan dari alam untuk bertahan hidup membuat manusia harus beradaptasi dengan lingkungannya dan mengolah lingkungan tersebut untuk kepentingannya sendiri. Dalam pengertian ini, kita dapat melihat bahwa arsitektur merupakan lingkungan buatan manusia yang berada dalam lingkungan alam yang sudah lebih dulu ada. Oleh karena itu, kita dapat memahami hubungan antara aristektur sebagai alam buatan manusia (second nature) dengan lingkungan alam (nature) sebagai proses perkembangan atau perubahan arsitektur itu dari masa ke masa.


Pada hakekatnya manusia menciptakan bangunan, kota, desa, maupun pertanian untuk menyatakan keberadaan / kehadirannya di muka bumi ini. Bebangunan tersebut pada dasarnya berada di dalam lingkup alam dan bebangunan atau ruang yang diciptakan manusia merupakan alam kedua bagi manusia. Jadi, dapat dikatakan bahwa alam binaan manusia adalah alam yang diolah oleh keterampilan manusia yang berada di dalam lingkungan alami yang lebih luas. Manusia mencoba mempelajari alamnya untuk kemudian diolah sedemikian rupa agar sesuai dengan kebutuhannya. Disinilah bagaimana alam itu sendiri mempengaruhi pemikiran manusia untuk menciptakan lingkungan binaannya dan sebagai proses interaksi dengan alamnya.


Lingkungan ciptaan manusia merupakan lingkungan alternatif yang lahir sebagai cerminan manusia terhadap apa yang ditemukannya pada lingkungan alam. Manusia pada awal keberadaannya di dunia ini menyadari bahwa kehidupan bukanlah hanya memenuhi kebutuhan sandang dan pangan saja, melainkan kebutuhan papan dalam hal ini ialah tempat tinggal menjadi sesuatu yang penting. Manusia butuh berlindung dari sengatan panas matahari, hujan, dan ancaman-ancaman alam lainnya. Disinilah manusia mulai menciptakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya dengan melihat potensi alam yang didiaminya. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya saja, tetapi juga manusia perlu tempat beristirahat yang nyaman dan aman dari ancaman lingkungan alam. Contoh rumah suku inuit atau eskimo yang mendirikan iglo-nya sebagai jawaban dari alam dengan suhu yang sangat dingin, tipe iglo dengan dinding-dinding tebal merupakan cara yang dinilai tepat untuk mendapatkan suhu hangat di dalam ruangan. Berbeda dengan daerah lain yang cukup hanya dengan tumpukan batu atau sebuah gua sehingga manusia bisa bernaung di dalamnya. Di tempat yang lain juga ada yang berupa rangkaian kayu atau pepohonan saja dan dinilai cukup sebagai tempat bernaung. Contoh-contoh tersebut mengindikasikan bahwa manusia dalam menciptakan tempat tinggalnya selalu berusaha memahami terlebih dahulu lingkungan alamnya.


Tersirat pada penjelasan diatas bahwa manusia secara sadar maupun tidak sadar selalu mencari keseimbangan antara lingkungan binaannya dan lingkungan alamnya. Lingkungan alam secara luas dapat kita sebutkan sebagai suatu benda yang sudah terjamah (oleh manusia) dan sebagai suatu benda yang pada bagian tertentu sama sekali belum terjamah. Lingkungan alam berupa flora dan fauna, iklim, geografi, hutan, dll. Sedangkan lingkungan binaan seperti yang sudah disinggung pada paragraf-paragraf sebelumnya dapat kita lihat sebagai gedung, rumah, taman, ataupun desa dan kota. Lingkungan buatan merupakan gambaran yang diinginkan manusia agar dapat mewadahi hidupnya (beraktifitas). Interaksi manusia dengan alam dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu hubungan yang kacau / tidak terpola dan hubungan yang tertatur (berpola). Interaksi manusia dengan alam menciptakan tradisi yang berguna untuk menyelaraskan pola hidup manusia. Makna yang terkandung dari interaksi manusia dengan alam dibarengi proses dan waktu yang terus-menerus adalah menciptakan arsitektur sebagai lingkungan buatan. Lingkungan buatan membuat pola hidup manusia itu sendiri. Manusia dengan alam adalah dua sistem yang dipadukan oleh arsitektur dalam suatu keseimbangan. Arsitektur tercipta oleh suatu tujuan atau maksud manusia dibarengi oleh perkembangan akal dan teknologi serta dinamika masyarakat.


Dalam pencariannya menuju keseimbangan antara lingkungan binaan dengan lingkungan alam manusia tidak terlepas dari kemampuannya beradaptasi. Seorang psikolog Swiss bernama Jean Piaget mengelompokan adaptasi kedalam dua proses, yakni asimilasi dan akomodasi. Asimilisai merupakan usaha manusia mengolah sumber-sumber daya dari luar (lingkungan alam) untuk disesuaikan dengan kebutuhannya sendiri. Sedangkan akomodasi merupakan usaha untuk menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan yang sudah ada. Kedua proses ini sangat erat kaitannya bagi manusia untuk menciptakan arsitektur sebagai alam buatannya. Yang kerap kali terjadi dalam proses pembuatan arsitektur pada manusia zaman dahulu ialah proses asimilasi dimana manusia melihat potensi alamnya dan menggunakan sumber-sumber daya alam yang tersedia untuk kemudian diolah menjadi bagian dari lingkungan binaannya. Contoh pada bangunan Machu Pichu di Peru yang dibangun oleh kerajaan Inca pada tahun 1440. Konon kota ini memiliki beberapa teori tentang fungsi dari bebangunan tersebut. Diantaranya adalah sebagai makam, kota dengan kekuatan ekonomi yang besar, sebagian ada yang mengatakan bahwa Machu Pichu berfungsi sebagai vila dan tempat upacara pengamatan astronomi. Terlepas dari fungsi-fungsi tersebut, kita dapat memahami bahwa Machu Pichu adalah sebuah komplek lingkungan binaan yang diolah manusia saat itu untuk kebutuhannya sendiri dan merupakan usaha untuk berintegrasi dengan lingkungan alam. Secara fisik komplek ini terdiri dari bebatuan sebagai bahan utama tempat tinggalnya, dan secara sosial komplek ini memiliki hirarki yang diinterpretasikan pada bangunan yang berbukit-bukit untuk melambangkan kedudukan masyarakat setempat. Semakin tinggi atau terhormat manusia itu maka akan menempati bangunan di dataran yang semakin tinggi pula. Begitu juga dengan bangunan Angkor Wat di Kamboja, fisik dari komplek maupun hirarki yang tercipta menunjukan adanya usaha manusia untuk mencari keseimbangan dengan alam dalam upaya beradaptasi.


Proses adaptasi ini tentu memerlukan interaksi antara manusia dan lingkungan alam. Adaptasi dapat terjadi jika manusia merespon alam dan begitu juga sebaliknya. Tentu alam dengan potensi yang berbeda menentukan pengolahan atau respon manusia yang berbeda pula. Disinilah issue ‘konteks’ dalam arsitektur mulai mencuat. Keseimbangan antara lingkungan buatan manusia dengan lingkungan alam berbeda satu sama lain. Manusia yang tinggal di daerah yang berbeda memiliki pemahaman tentang keseimbangan yang berbeda pula. Apa yang menjadi konteks (yang sudah lebih dulu ada) yakni alam, menjadi bahan pertimbangan tersendiri dalam upaya mencapai harmonisasi lingkungan binaan dan lingkungan alam. Konteks tempat / alam sebagai lingkungan dimana lingkungan buatan manusia itu berdiri menjadi acuan bagi tiap manusia untuk mengolah lingkungannya sendiri. Serta bagaimana lingkungan binaan yang mengandung aspek fisik dan sosial itu berintegrasi dengan lingkungan alam.



Seiring dengan perkembangan zaman, lingkungan binaan (arsitektur) bukan saja tentang hubungan bebangunan (fisik) dengan lingkungan alam. Terdapat pula aspek sosial yang menyertainya. Bangunan yang dahulu didirikan berdasarkan kebutuhan yang bersifat penting (urgent) dan sementara, kini merambah kepada sesuatu yang bersifat sosial yakni keinginan. Hal inilah yang mungkin menjadi penyebab bahwa saat ini arsitektur bukan saja suatu kebutuhan melainkan keinginan. Abraham Maslow mengelompokan tingkat kebutuhan kedalam sebuah bagan piramida yakni Hierrarchy of needs. Dijelaskan disana bahwa kebutuhan manusia yang mendasar ialah kebutuhan psikologis yang memuat juga kebutuhan fisik ruang yakni perumahan. Namun apa yang terjadi setelah itu tercapai bahwa manusia ingin sesuatu yang lebih tinggi lagi, yakni status sosial yang dalam dunia arsitektur dapat tercermin dari bangunan tempat tinggalnya. Hal ini mendasari perubahan bentuk fisik hunian yang dahulu hanya cukup dengan bentuk gua atau bangunan dari pepohonan, yang sekarang menjadi hunian dengan beragam style yang menunjukan kedudukan manusia itu sendiri. Dahulu hunian lebih untuk memenuhi kebutuhan yang genting (immidiate needs) dan sementara, saat ini hunian diciptakan untuk dapat bertahan lama.

YWS