Rabu, 20 Oktober 2010

PROBLEM SUBYEK-OBYEK DALAM PROSES KREATIFITAS

Merancang, baik dalam bidang arsitektur maupun dalam bidang-bidang perancangan lainnya, merupakan sebuah tindakan pencarian bentuk ideal yang melibatkan kreatifitas seseorang (perancang). Kreatifitas seseorang sangat ditentukan oleh pengetahuan yang ia miliki, tidak serta merta mengandalkan kepada ilham semata. Pengetahuan yang dimiliki serta pengetahuan yang ada di dunia yang berpengaruh kuat dalam proses kreatifitasnya. Dalam hal ini, pikiran atau pengetahuan pribadi seseorang sebagai subyek akan terus berkesinambungan dengan pengetahuan-pengetahuan yang tertera di dunia luar sebagai obyek. Akan selalu ada dualitas dalam proses kreatifitas yang muncul dari problem subyek-obyek yakni antara ilmu pengetahuan (knowing/science) dan kreasi (creating/art).



Dalam kaitannya dengan pikiran pribadi sebagai subyek dan dunia sebagai obyek, ilmu pengetahuan dan kreasi memiliki arah dan pemahaman yang berbeda. Ilmu pengetahuan (knowing) lebih menekankan pada pentingnya informasi dari dunia luar daripada faktor perancangnya, dimana sang perancang secara pasif menemukan bentuk eksternal. Sedangkan kreasi (creating) lebih menekankan pada pentingnya pemikiran perancang daripada faktor-faktor lainnya, dimana sang perancang secara aktif mengekspresikan kekuatan pribadinya tanpa mempertimbangkan kendala luar.


Pemahaman atau pengertian tentang knowing dan creating itulah yang kemudian memunculkan teori-teori yang berkaitan dengan masalah subyek-obyek dalam proses kreatifitas. Teori-teori tersebut ialah positivisme yang setara dengan empirisisme, romantisme yang setara dengan idealisme, dan klasikisme yang setara dengan rasionalisme. Positivisme-empirisisme, menekankan pentingnya fenomena luar tanpa intervensi pemikiran seseorang. Positivist berpendapat bahwa faktor-faktor luar secara otomatis masuk kedalam pikiran seseorang, yaitu menemukan bentuk yang secara samar ada dalam kendala-kendala luar dari program desain tanpa menunjukan konsep tentang bentuknya sendiri. Romantisme-idealisme, menganggap bahwa sumber bentuk ada dalam diri sang perancang, selaras dengan kemampuan, inspirasi dan kejeniusannya, dan sering mengabaikam faktor eksternal. Teori ini menekankan pada pengolahan sumber-sumber yang ada dalam diri sang desainer (subyek). Klasikisme-rasionalisme, bahwa sumber bentuk dapat ditemukan di luar pikiran sang perancang, yaitu elemen-elemen yang ada di dunia luar. Namun, bentuk inipun tidak muncul begitu saja, selalu ada peran perancang, dimana sang perancang awalnya mengambil inspirasi dari faktor-faktor eksternal juga.




Dalam arsitektur, teori-teori yang tercipta dari dualitas pikiran sebagai subyek dan dunia sebagai obyek ini juga mempengaruhi proses kreatifitas arsitek-arsitek besar dalam menghasilkan karya-karyanya yang terkenal. Terdapat contoh-contoh arsitek dengan karya-karyanya yang merupakan pengaruh dari pemikiran-pemikiran seperti yang sudah dijelaskan pada diagram di atas. Pada teori positivisme-empirisme misalnya, arsitek ternama seperti Hector Guimard dan Eero Saarinen mengambil bentuk-bentuk yang ada pada lingkungan alam seperti bentuk bunga, serangga, juga bentuk-bentuk mahkluk hidup lainnya, dan menerjemahkannya seacara langsung kedalam gubahan masa bangunannya. Contoh entrance stasiun Metro di Paris oleh Guimard, mengambil bentuk gabungan bunga dan serangga. Sedangkan Saarinen mengambil bentuk burung yang sedang mengepakan sayapnya untuk siap terbang, pada bangunan Bandara TWA (1956-1962) JFK, di New York.

Pemikiran atau teori tentang klasikisme-rasionalisme juga mempengaruhi arsitek-arsitek terkenal dalam perancangannya, misalnya Antoni Gaudi dan Frank L. Wright. Bangunan Casa Mila di Spanyol karya Gaudi, mencoba mengkonsepkan gubahan massa yang berangkat dari alam / kehidupan dan diperkaya dengan abstraksi dari ekspresi dan imajinasi bebas. Dilain pihak Gaudi mencoba menerapkan bentuk-bentuk alam seperti gelombang laut ataupun bentuk-bentuk gua, dilain pihak Gaudi mencoba mengambil bentuk-bentuk alam itu dengan memadukan ide-ide kreatifnya. Begitu juga dengan Frank L. Wright dengan karyanya yakni ‘Falling Water’, sebuah rumah tinggal hasil dari pemikiran sang arsitek yang menggali potensi-potensi alam dan memadukannya dengan ide-ide pemikirannya untuk menemukan sebuah gubahan massa yang ideal dan cocok untuk lokasi tersebut.

Pada teori atau pemikiran yang romantisisme-idealisme kita dapat melihat karya-karyanya pada arsitektur masa kini. Banyak bangunan-bangunan modern futuristik ataupun bangunan-bangunan dengan arsitektur post-modern lahir dari pemikiran-pemikiran pribadi sang arsitek tanpa harus banyak pertimbangan tentang dunia luar. Karya-karya yang lahir dari pemahaman idealisme ini seringkali merupakan karya-karya yang monumental. Mengambil bentuk-bentuk yang futuristik (visioner), belum pernah ada sebelumnya, tetapi kebanyakan orang yang melihatnya tidak paham, konsep apa yang ada pada bangunan tersebut. Frank Gehry dengan karyanya Guggenheim Museum di Bilbao, dan Rem Koolhaas dengan CCTV-nya di China merupakan contoh arsitek yang banyak dipengaruhi pikiran idealisme-nya dalam merancang. Terlepas dari baik buruknya rancangan mereka, tetap diakui sebagai arsitek-arsitek yang memiliki ide, pemahaman, kejeniusan pribadi yang sangat kuat.

Dengan demikian, keterlibatan pikiran pribadi dan pengetahuan dunia luar akan terus menyertai proses kreatifitas seseorang dalam merancang. Ilmu pengetahuan dan kreasi bukan saling meniadakan, tetapi justru saling melengkapi. Tinggal dalam pemahaman apa sang perancang mau berdiri, positivisme-empirisisme, klasikisme-rasionalisme, atau romantisisme-idealisme. Tetapi yang pasti disini bahwa pemahaman teoritis baik itu berupa sejarah maupun pengetahuan terkini, merupakan hal yang sangat penting dalam perancangan, dan pemahaman tersebut dapat dikembangkan / ditingkatkan melalui faktor-faktor eksternal maupun dengan cara pengolahan sumber-sumber daya yang ada dalam pribadi sang perancang.

YWS

Man Made World VS Nature

                                                  “………a quest into human compulsion to create architecture rahter than simply functional shelter.”


Pernyataan di atas membawa pikiran kita kepada manusia mula-mula dalam menghadapi tantangan alam dan interaksinya untuk bertahan hidup. Sudah tentu jika kita dihadapkan dengan pertanyaan mengapa kita menciptakan tempat tinggal lebih dari sekadar sebagai tempat bernaung, maka kita memiliki banyak dan beragam alasan. Dari alasan yang bersifat ‘kebutuhan’ hingga ‘keinginan’, ‘sementara’ hingga ‘abadi / langgeng’, sampai kepada alasan yang sifatnya ‘status sosial’ bisa jadi merupakan alasan mengapa kita menciptakan arsitektur. Namun bagaimana dengan manusia zaman dahulu, ketika manusia masih hidup nomaden, sudah tentu tempat tinggal menjadi suatu hal yang sifatnya sementara dan tidak memiliki arti atau fungsi lebih dari sekadar tempat berteduh. Adanya tekanan atau dorongan dari alam untuk bertahan hidup membuat manusia harus beradaptasi dengan lingkungannya dan mengolah lingkungan tersebut untuk kepentingannya sendiri. Dalam pengertian ini, kita dapat melihat bahwa arsitektur merupakan lingkungan buatan manusia yang berada dalam lingkungan alam yang sudah lebih dulu ada. Oleh karena itu, kita dapat memahami hubungan antara aristektur sebagai alam buatan manusia (second nature) dengan lingkungan alam (nature) sebagai proses perkembangan atau perubahan arsitektur itu dari masa ke masa.


Pada hakekatnya manusia menciptakan bangunan, kota, desa, maupun pertanian untuk menyatakan keberadaan / kehadirannya di muka bumi ini. Bebangunan tersebut pada dasarnya berada di dalam lingkup alam dan bebangunan atau ruang yang diciptakan manusia merupakan alam kedua bagi manusia. Jadi, dapat dikatakan bahwa alam binaan manusia adalah alam yang diolah oleh keterampilan manusia yang berada di dalam lingkungan alami yang lebih luas. Manusia mencoba mempelajari alamnya untuk kemudian diolah sedemikian rupa agar sesuai dengan kebutuhannya. Disinilah bagaimana alam itu sendiri mempengaruhi pemikiran manusia untuk menciptakan lingkungan binaannya dan sebagai proses interaksi dengan alamnya.


Lingkungan ciptaan manusia merupakan lingkungan alternatif yang lahir sebagai cerminan manusia terhadap apa yang ditemukannya pada lingkungan alam. Manusia pada awal keberadaannya di dunia ini menyadari bahwa kehidupan bukanlah hanya memenuhi kebutuhan sandang dan pangan saja, melainkan kebutuhan papan dalam hal ini ialah tempat tinggal menjadi sesuatu yang penting. Manusia butuh berlindung dari sengatan panas matahari, hujan, dan ancaman-ancaman alam lainnya. Disinilah manusia mulai menciptakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya dengan melihat potensi alam yang didiaminya. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya saja, tetapi juga manusia perlu tempat beristirahat yang nyaman dan aman dari ancaman lingkungan alam. Contoh rumah suku inuit atau eskimo yang mendirikan iglo-nya sebagai jawaban dari alam dengan suhu yang sangat dingin, tipe iglo dengan dinding-dinding tebal merupakan cara yang dinilai tepat untuk mendapatkan suhu hangat di dalam ruangan. Berbeda dengan daerah lain yang cukup hanya dengan tumpukan batu atau sebuah gua sehingga manusia bisa bernaung di dalamnya. Di tempat yang lain juga ada yang berupa rangkaian kayu atau pepohonan saja dan dinilai cukup sebagai tempat bernaung. Contoh-contoh tersebut mengindikasikan bahwa manusia dalam menciptakan tempat tinggalnya selalu berusaha memahami terlebih dahulu lingkungan alamnya.


Tersirat pada penjelasan diatas bahwa manusia secara sadar maupun tidak sadar selalu mencari keseimbangan antara lingkungan binaannya dan lingkungan alamnya. Lingkungan alam secara luas dapat kita sebutkan sebagai suatu benda yang sudah terjamah (oleh manusia) dan sebagai suatu benda yang pada bagian tertentu sama sekali belum terjamah. Lingkungan alam berupa flora dan fauna, iklim, geografi, hutan, dll. Sedangkan lingkungan binaan seperti yang sudah disinggung pada paragraf-paragraf sebelumnya dapat kita lihat sebagai gedung, rumah, taman, ataupun desa dan kota. Lingkungan buatan merupakan gambaran yang diinginkan manusia agar dapat mewadahi hidupnya (beraktifitas). Interaksi manusia dengan alam dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu hubungan yang kacau / tidak terpola dan hubungan yang tertatur (berpola). Interaksi manusia dengan alam menciptakan tradisi yang berguna untuk menyelaraskan pola hidup manusia. Makna yang terkandung dari interaksi manusia dengan alam dibarengi proses dan waktu yang terus-menerus adalah menciptakan arsitektur sebagai lingkungan buatan. Lingkungan buatan membuat pola hidup manusia itu sendiri. Manusia dengan alam adalah dua sistem yang dipadukan oleh arsitektur dalam suatu keseimbangan. Arsitektur tercipta oleh suatu tujuan atau maksud manusia dibarengi oleh perkembangan akal dan teknologi serta dinamika masyarakat.


Dalam pencariannya menuju keseimbangan antara lingkungan binaan dengan lingkungan alam manusia tidak terlepas dari kemampuannya beradaptasi. Seorang psikolog Swiss bernama Jean Piaget mengelompokan adaptasi kedalam dua proses, yakni asimilasi dan akomodasi. Asimilisai merupakan usaha manusia mengolah sumber-sumber daya dari luar (lingkungan alam) untuk disesuaikan dengan kebutuhannya sendiri. Sedangkan akomodasi merupakan usaha untuk menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan yang sudah ada. Kedua proses ini sangat erat kaitannya bagi manusia untuk menciptakan arsitektur sebagai alam buatannya. Yang kerap kali terjadi dalam proses pembuatan arsitektur pada manusia zaman dahulu ialah proses asimilasi dimana manusia melihat potensi alamnya dan menggunakan sumber-sumber daya alam yang tersedia untuk kemudian diolah menjadi bagian dari lingkungan binaannya. Contoh pada bangunan Machu Pichu di Peru yang dibangun oleh kerajaan Inca pada tahun 1440. Konon kota ini memiliki beberapa teori tentang fungsi dari bebangunan tersebut. Diantaranya adalah sebagai makam, kota dengan kekuatan ekonomi yang besar, sebagian ada yang mengatakan bahwa Machu Pichu berfungsi sebagai vila dan tempat upacara pengamatan astronomi. Terlepas dari fungsi-fungsi tersebut, kita dapat memahami bahwa Machu Pichu adalah sebuah komplek lingkungan binaan yang diolah manusia saat itu untuk kebutuhannya sendiri dan merupakan usaha untuk berintegrasi dengan lingkungan alam. Secara fisik komplek ini terdiri dari bebatuan sebagai bahan utama tempat tinggalnya, dan secara sosial komplek ini memiliki hirarki yang diinterpretasikan pada bangunan yang berbukit-bukit untuk melambangkan kedudukan masyarakat setempat. Semakin tinggi atau terhormat manusia itu maka akan menempati bangunan di dataran yang semakin tinggi pula. Begitu juga dengan bangunan Angkor Wat di Kamboja, fisik dari komplek maupun hirarki yang tercipta menunjukan adanya usaha manusia untuk mencari keseimbangan dengan alam dalam upaya beradaptasi.


Proses adaptasi ini tentu memerlukan interaksi antara manusia dan lingkungan alam. Adaptasi dapat terjadi jika manusia merespon alam dan begitu juga sebaliknya. Tentu alam dengan potensi yang berbeda menentukan pengolahan atau respon manusia yang berbeda pula. Disinilah issue ‘konteks’ dalam arsitektur mulai mencuat. Keseimbangan antara lingkungan buatan manusia dengan lingkungan alam berbeda satu sama lain. Manusia yang tinggal di daerah yang berbeda memiliki pemahaman tentang keseimbangan yang berbeda pula. Apa yang menjadi konteks (yang sudah lebih dulu ada) yakni alam, menjadi bahan pertimbangan tersendiri dalam upaya mencapai harmonisasi lingkungan binaan dan lingkungan alam. Konteks tempat / alam sebagai lingkungan dimana lingkungan buatan manusia itu berdiri menjadi acuan bagi tiap manusia untuk mengolah lingkungannya sendiri. Serta bagaimana lingkungan binaan yang mengandung aspek fisik dan sosial itu berintegrasi dengan lingkungan alam.



Seiring dengan perkembangan zaman, lingkungan binaan (arsitektur) bukan saja tentang hubungan bebangunan (fisik) dengan lingkungan alam. Terdapat pula aspek sosial yang menyertainya. Bangunan yang dahulu didirikan berdasarkan kebutuhan yang bersifat penting (urgent) dan sementara, kini merambah kepada sesuatu yang bersifat sosial yakni keinginan. Hal inilah yang mungkin menjadi penyebab bahwa saat ini arsitektur bukan saja suatu kebutuhan melainkan keinginan. Abraham Maslow mengelompokan tingkat kebutuhan kedalam sebuah bagan piramida yakni Hierrarchy of needs. Dijelaskan disana bahwa kebutuhan manusia yang mendasar ialah kebutuhan psikologis yang memuat juga kebutuhan fisik ruang yakni perumahan. Namun apa yang terjadi setelah itu tercapai bahwa manusia ingin sesuatu yang lebih tinggi lagi, yakni status sosial yang dalam dunia arsitektur dapat tercermin dari bangunan tempat tinggalnya. Hal ini mendasari perubahan bentuk fisik hunian yang dahulu hanya cukup dengan bentuk gua atau bangunan dari pepohonan, yang sekarang menjadi hunian dengan beragam style yang menunjukan kedudukan manusia itu sendiri. Dahulu hunian lebih untuk memenuhi kebutuhan yang genting (immidiate needs) dan sementara, saat ini hunian diciptakan untuk dapat bertahan lama.

YWS

Rabu, 29 September 2010

10 Essential Architectural Movements of the 20th Century

Source:
http://www.constructionmanagementschools.net/blog/2010/10-essential-architectural-movements-of-the-20th-century

Architecture is one of the most visible forms of art in our day-to-day lives. Many of the buildings that surround us were designed and constructed with an aesthetic purpose, and if they were done right, they immeasurably enhance the location in which they’re situated. The 20th century was an interesting time for architecture as several movements came and went, reflecting the styles, sensibilities and priorities of their eras. Here are 10 essential architectural movements from that time period.



Art Nouveau

Art nouveau architecture is characterized by odd shapes, an abundance of arches and curves, and surfaces that feature curvy floral and plant designs. The style came to prominence during the late 19th and early 20th centuries in European cities, particularly in Paris, where the Maison de l’Art Nouveau gallery operated by Siegfried Bing displayed the art style.




Arts and Crafts

The arts and crafts movement coincided with the art nouveau movement, placing and increased emphasis on conforming to the structure’s surroundings while remaining aesthetically pleasing. One of the pioneers of the movement, William Morris, sought to depart from the overused Victorian architecture and bring forth a style based on the handicrafts movement. Houses during the era contained a more personable feel, as they were constructed as bungalows.



Art Deco

Art deco architecture is a combination of many different preexisting styles, but with a modern twist. These buildings feature materials such as stainless steel and aluminum, and often the sunburst motif, which can be seen on the Chrysler Building in New York – one of the most well-known art deco structures in the world. It was constructed between the two World Wars, when the style was at its peak in popularity.




Futurist

Unlike other architectural movements during the early 20th century, the futurist movement attempted to ignore past styles and devote itself to creating something entirely new. Antonio Sant’Elia was a major proponent of futurist architecture, writing the Manifesto of Futurist Architecture in 1914, which states the need to use only new technology and materials in the construction of these structures. During the ’50s, Googie Architecture notably emerged as a type of futurism.


 

Modernist

Modern architecture is simple and unornamental, differing from other movements in order to adapt to social and political changes. The German school for design, Bauhaus, is credited with influencing the modern movement. Founder Walter Gropius designed the Bauhaus building, which serves as an early example of the style. Modernist architecture became most popular after World War II and continues to be an often used style in major cities today.



International Style

International style is an offshoot of modernist architecture, but with a slightly different approach stylistically. A book authored by Philip Johnson and Henry-Russell Hitchcock gave birth to the term, laying out three principles. The style became common in the developed world after World War II, featuring a square appearance as priority is given to the efficient use of space.



Expressionist

Expressionist architecture is perhaps the most eye-catching style popularized during the 20th century. It’s characterized by a rejection of conventionalism for creativity, which is evident in its odd and inconsistent shapes and naturalistic themes. The final product is a reflection of the inner feelings of the designer, hence the use of the term “expressionism.”



Brutalism

Concrete was heavily used in the formation of buildings during the mid-to-late 20th century in England, when communities needed cost-effective ways to rebuild after World War II. Brutalist buildings can be identified by their consistently blocky appearances, which many find aesthetically displeasing and downright ugly. Notably, Prince Charles has publically criticized the presence of the buildings in England.



Postmodern

Postmodern architecture contrasts from modernism in that it requires creativity and ornamentation. The movement gained steam in the ’60s and ’70s as architects attempted to combine past styles while straying away from an overemphasis on functionalism. Appearance became a priority, as evidenced by the construction of Houston’s Bank of America Center and Kuala Lumpur’s Petronas Towers in the latter years of the 20th century.



New Urbanism

New Urbanism is the recent answer to urban sprawl. The goal is to facilitate a true sense of community within American cities by enabling foot traffic, increasing affordable housing, and practicing historic preservation and sustainability. An emphasis is placed on visual coherence in the construction of neighborhoods, incorporating a mostly historical architectural styles adapted to the setting.


 




10 Essential Architects of the Twentieth Century

source:
http://www.constructionmanagementschools.net/blog/2010/10-essential-architects-of-the-twentieth-century/

Architects are specialists that need to be highly skilled and talented in design and planning and render services in connection with the design and construction of buildings. Architecture varies greatly depending on the taste and style of the architect, and has generally evolved over the years. The following architects had their impact on architecture in the 20th century:

1. Frank Lloyd Wright

Frank Lloyd Wright was an American architect and interior designer who designed more than 1,00 projects in his lifetime. Wright’s architecture work includes office buildings, schools, hotels, churches, and museums. Wright’s most popular and recognized work is probably the Solomon Guggenheim Museum in New York City, which is located on the city’s popular Fifth Avenue. Wright died in April of 1959, and was acknowledged in 1991 by the American Institute of Architects as being the greatest American architect of all time.



2. Frank Owen Gehry

Frank Owen Gehry is a Candian-American architect based in California. Gehry’s works include homes, offices, buildings and museums, which have become tourists attractions because of their distinct shapes and appearances. Gehry was awarded the Pritzker Architecture Prize in 1989. A few of Gehry’s most well known works include the Guggenheim Museum in Spain, the Walt Disney Concert Hall in Los Angeles, the Dancing House Art Gallery of Ontario in Toronto, and the Weisman Art Museum in Minneapolis.



3-4. Charles and Ray Eames

Having a major contribution to modern architecture, couple Charles and Ray Eames were American born architects. Together they are well known for their works such as The Mathematica Exhibition, the Eames House and several other houses and churches. The Eames duo achieved international success also as designers of rugs, toys, stage and movie sets as well. The pair also won several awards and medals for their works in architecture and worked in modern furniture designs, which are also well known.



5. Kevin Roche

An Irish-American architect famous for his creativity with glass structures, Kevin Roche has been the recipient of many awards and prizes for his works. Roche, whose works can be seen in the US, France, Singapore, Ireland, and Spain has been the architect behind several museums, corporate headquarters, theaters, and universities. Some of Roche’s most notable works include the Ford Foundation Building and U. N. Plaza in New York, the Bank of America Plaza in Atlanta, and the Convention Centre Dublin in Ireland.



6. Le Corbusier

A Swiss architect, designer, and painter, Le Corbusier is famous for being one of the pioneers of modern architecture. Le Corbusier has major buildings and projects in Switzerland, France, Germany, and India, amongst many others. Of the many structures such as museums, homes, and churches Le Corbusier created, some of his best works included the Villa Savoye and The Notre Dame du Haut in France, and the Open Hand Monument in India.



7. Paolo Soleri

Paolo Soleri is an Italian-American architect who has won several awards and lifetime achievements and is known for his ecology based projects. Soleri has had his work exhibited in various forms worldwide and is well known for Cosanti, his residence and a gallery located in Arizona, which includes an “Earth House”, student dorms, studios, a swimming pool, and his residence.


8. Luis Barragan

Considered the most influential architect in Mexico, Luis Barragan was a self-trained architect. Barragan’s work, mostly done in Mexico, was influenced by European modernism of his time. Barragan was honored with prizes such as the Pritzker Prize in 1980. The home he built for himself in 1948, now a museum, was listed a UNESCO World Heritage site in 2004.



9. Kenzo Tange

Known for combining modernism with traditional Japanese architecture, Japanese architect Kenzo Tange designed significant structures on 5 continents. Tange, who had numerous awards, medals and praises for his work, is well known for his many designs including, St. Mary’s Cathedral in Tokyo, the Hiroshima Peace Memorial Park, and the Tokyo Olympic Arenas.


10. Alvaro Siza

Alvaro Siza is a Portugese architect, whom has won many awards and prizes over his lifetime for his work and is one of the best known Portugese architects of the 20th century. One of Siza’s most famous designs is the Faculty of Architecture Building of the University of Porto. Siza’s contemporary designs can be seen in restaurants, pools, schools, buildings, and houses he has designed over the years.



Jumat, 17 September 2010

ARSITEK BUKAN “MASTER-BUILDER”

Arsitektur tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan budaya manusia. Fokus-fokus pandangan manusia tentang dunia banyak memberikan sumbangan pada bentuk dan orientasi pandangan-pandangan arsitektur. Pada masyarakat yang pandangan hidupnya berfokus pada kosmos, misalnya, wujud bangunan banyak ditentukan oleh mitos-mitos yang berkembang di masyarakatnya. Pada masyarakat yang fokus pada ketuhanan (teosentris), banyak dibuat bangunan-bangunan peribadatan dengan skala megah dan monumentalis. Sementara pada masyarakat yang fokus pandangannya pada manusia (antroposentris), yang banyak dibuat adalah bangunan-bangunan publik seperti plaza, taman, serta tempat pertunjukan atau arena.

Meskipun telah banyak bangunan yang mengagumkan dibangun berabad-abad sebelum Masehi, profesi arsitek sebenarnya baru berkembang pada masa Renaissance di Italia sekitar abad ke-14. Sebelum masa itu, karya-karya arsitektur lebih banyak didisain secara kolektif, ditentukan oleh otoritas penguasa, atau direncanakan oleh pemuka-pemuka agama sesuai dengan tuntutan-tuntutan kepercayaan yang dianut. Pada awal Renaisans di Italia, berkembang sistem patronage dalam seni. Para bangsawan dan orang kaya menjadi sponsor bagi para seniman. Hal ini juga terjadi dalam bidang arsitektur. Bangsawan dan orang kaya yang ingin mendirikan bangunan-bangunan yang indah mencari tenaga ahli yang dapat mengepalai banyak tukang. Tenaga-tenaga ahli ini muncul dari kalangan perajin, perupa, dan pelukis. Karena pekerjaan pembangunan dapat dipercayakan kepada tukang-tukang yang handal, maka para tenaga ahli ini dapat berkonsentrasi pada tugas intelektual untuk membuat disain. Di sinilah arsitek muncul sebagai sebuah profesi.

Pada awal perkembangannya, arsitek menjadi profesi yang otonom. Dengan adanya anggapan bahwa para arsitek mempunyai kemampuan khusus yang tidak dipunyai oleh anggota masyarakat lainnya, arsitek kemudian menduduki tempat khusus dalam komunitas manusia (masyarakat). Arsitek diibaratkan sebagai pendeta yang tidak hanya dengan ketrampilan dan keahliannya saja tapi juga dengan arif kebijaksanaannya menurunkan rahmat dan dharmanya dalam mengubah tata ruang, baik bagi perorangan maupun masyarakat. Otonomi profesi arsitek ini kemudian mencapai puncaknya pada era Master Builders pada periode perkembangan Arsitektur Modern di tahun 1920-1960an. Seorang arsitek menjadi satu-satunya pengambil keputusan yang setiap kata dan pemikirannya dituruti, seolah-olah tak terbantahkan bahkan oleh kliennya sendiri. Arsitek memegang kendali mulai dari tahap perencanaan, desain, hingga pembangunan. Pada masa itu, munculah nama-nama tokoh arsitek yang terkenal dengan karya-karya prestisius. Sebuah karya arsitektur seakan menjadi identik dengan nama sang arsitek.

Arsitek-arsitek pada era master builders selain mampu menghasilkan karya-karya arsitektur yang mengagumkan juga mampu melahirkan teori-teori yang menjadi panutan dalam dunia arsitektur. Louis Sullivan, misalnya, seolah-olah identik dengan pernyataannya: “Form Follows Function”, bentuk harus mengikuti fungsi. Mies Van der Rohe mengembangkan konsep Ultimate Simplicity dengan slogannya Less is More, Adof Loos bahkan membuat pernyataan yang lebih ekstrim bahwa membuat ornamen pada suatu bangunan adalah tindakan kriminal : “Ornament Is A Crime”!. Salah satu tokoh yang paling berpengaruh pada era Master Builders adalah Le Corbusier, seorang arsitek Swiss-Perancis. Selain karya-karyanya yang unik seperti Notre-Dame-du-Haut di Ronchamp, France, Le Corbusier juga terkenal dengan pernyataan-pernyataannya tentang arsitektur. Salah satunya yang terkenal adalah konsepnya tentang rumah yang ideal. Menurutnya “sebuah rumah adalah sebuah mesin untuk hidup”. Berkat kontribusinya yang besar di bidang arsitektur, Le Cobusier kerap dianggap sebagai bapak arsitektur modern.

Seiring dengan berkembangnya kebudayaan manusia, tuntutan kehidupan manusia menjadi lebih kompleks. Hal ini juga merambah kedalam bidang arsitektur. Tuntutan kualitas dan kuantitas suatu lingkungan binaan menjadi lebih kompleks. Pengaruh adanya revolusi industri mendorong ditemukannya hal-hal baru dalam dunia arsitektur. Penemuan material-material baru, teknik konstruksi yang baru, peningkatan daya kritik masyarakat atau pengguna bangunan yang semakin tajam, semakin banyaknya proyek dengan skala geografis yang semakin besar membuat faktor kemajemukan budaya menjadi hal yang harus dipikirkan dan menjadikan arsitektur masalah yang lebih luas dari sekadar permasalahan tata ruang.

Hal di atas menjadikan permasalahan arsitektur semakin rumit. Pada akhirnya seorang arsitek tidak mampu mengatasi tuntutan-tuntutan ini seorang diri. Dalam proyek-proyek berskala besar dan kompleks dituntut adanya campur tangan tenaga-tenaga ahli dari bidang ilmu lain untuk menyelesaikan permasalahan desainnya. Dewasa ini dapat dikatakan bahwa arsitek ‘mengetahui banyak, namun mengerti sedikit’. Arsitek mengetahui banyak hal mulai dari mekanikal, elektrikal, drainase, struktur, ekonomi bangunan, hingga ke psikologi, sosial, budaya, dll. Namun tidak semua dipahaminya secara mendalam. Dalam proyek-proyek besar dan kompleks, pengetahuan yang tidak mendalam ini tidak cukup untuk memberikan kualitas desain yang baik.

Masa keemasan arsitek sebagai master builder, seorang yang berperan penuh dalam pekerjaan pembangunan mulai dari gagasan, konsep, perancangan hingga tahap konstruksi kini telah lewat dan sudah berubah. Arsitek pada masa kini dapat dikatakan hanya merupakan bagian dari sebuah proses pembangunan. Peran arsitek dewasa ini lebih banyak sebagai leader atau koordinator pembangunan, dia membutuhkan dan harus bekerja sama dengan ahli konstruksi, ahli mekanikal elektrikal, estimator, penata cahaya, penata akustik, dll. Karya arsitektur pada akhirnya merupakan karya multi disiplin, bukan semata-mata karya individu sang arsitek.

Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah apakah pergeseran peran arsitek yang sekarang bukan lagi sebagai master builder merupakan hal yang negatif ( dalam arti arsitek mengalami penurunan kualitas )? Ataukah keterlibatan berbagai disiplin ilmu lain dalam proses pembangunan merupakan suatu kemenangan dalam menjawab tuntutan kuantitas dan kualitas desain arsitektur?

(dari berbagai sumber)





Jumat, 03 September 2010

Architecture and The Object of Architecture

We usually hear about architecture, and moreover architecture word has been using by other disciplines and knowledges since long time ago. However, are we understand about architecture itself? How understand do we have about the architecture? Then, how about the object of architecture? Is Eiffel Tower an object of architecture? Are Golden Gate Bridge and Liberty Statue in United States an object of architecture? Stack of many huge stones in England that we called Stonehenge, is it an object of architecture? Certainly, these questions are not easy to be answered. Architecture has wide meaning, by the result of that, architects as well as common people have many perspectives about definition of architecture.

Buildings, structures, sculptures, roads, parks, built environment are too wide, that is make architecture could be interpreted as everything. There must be some words that could define architecture specifically. It is not easy to define architecture because of its complexities. According to a dictionary, architecture means art and discipline to build a buildings. According to Greece, Archi = head, and techton = craftsman, then architecture is a work of craftsman’s head. According to O’Gorman in ABC of Architecture, architecture is more than a shelter. Architecture can be an art which have different, there is architecture uses art as something important to be used as interior. According to Corbusier, architecture is the masterly, correct and magnificient play of masses seen in light. Architecture with a capital A was an emotional and aesthetic experience. According to prof. Van Romondt, architecture is a space that human being live in happiness. There are many books as well as opinions that define about architecture, this make architecture has wide and various definitions. Yet, from those definitions, architecture must have a formula of words that could define the meaning of architecture more specific.

Bamboo, either in tree shape or in cut shape, still we can recognize it as bamboo. After human being “touched” it and made it into something that have a certain function then we can say that is bamboo chairs, bamboo desks, etc. Stone also, we can easily recognize stone whatever it shape. And after human being made it into something that we need then we can say that is a stone chair, a stone desk, etc. The explanation indicates that man-made is always accomodates ideas and expression which communicated through form. Architecture is man-made, therefore architecture always accomodates ideas (usage / function ) and express meaning through form as it medium.

Not all of man-made are architecture. Architecture as a man-made could be seen as material object ( physic / non physic, tangible / intangible ); formal object ( descriptive, normative, efficiencive ); and the expression also. Material object of architecture is physic / tangible, that is container of the space for activity. The formal object is efficiencive, that is function / usage / needs / wants. And the expression is an effort to communicate container and function with orderly composition. Thus, the object of architecture has function, usually based on ‘needs’ and also ‘wants’; form which is physical container of the function; and meaning, that is a messege of the form and function.

Therefore, we may conclude that architecture is a human ( with conscious ) effort to create orderly composition of space and physical enclosure which accomodate function as well as express meaning. Of course this explanation is not a standard for architecture definition, but certain kind of method to look at, to think, and to talk about architecture and the object of architecture more specific.

YWS


Senin, 16 Agustus 2010

Fakultas Teknik UNPAR Menurut Sketsa Saya

Technique Faculty, Parahyangan Catholic University according to my sketch.......

YWS

LAWAN KATA / PADU PADAN ?


YWS

SPACE STRUCTURE



In Architecture, there is quite important for structures to create a functional space. To give a place for an activity, we need a good space to be functioned as our desire. In this case, an activity container could be defined as a building which become an architecture object. Building needs approriate and strong structures to restrain the whole building itself. The relation with ‘Space Structure’ subject, that a space of the building can be created by supported structures. Certain type of structures creates certain space with certain form and determine what activity can happen in that space.

Aspects of ‘Space Structure’ in this essay contains:



• Man-Space-Roof


• Roof-Supports


• Structures: Frame-Plane-Volume


• Space-stucture


• Anatomy: Structure/ non elements

MAN –SPACE – ROOF

As explainned before that human being always does some activities everyday. To do some activities we need a space ‘in door’ or ‘out door’. These space (in door / out door) called a container of activity with various forms.

However, most of our activities held in closed door. In this case, the space we used to do some activities is a building which is an architecture object. Human being wants surrounded by walls or partitions to keep the privacy during do some activities. Besides, people wants covered from rain, sun shine, and other disturbing things that threaten them. In order to covered from rain and sun shine then roof is needed. Roof is important element to covered human being from rain and sun shine.

ROOF – SUPPORTS

Roof can not stand without supports, we need frame structures to support the roof so can be functioned as our planned. Roof structure influence the form of roof itself and influence the shape of created space.

STRUCTURE: FRAME – PLANE – VOLUME
Structure express 3 characters: Frame, to express freedom in activity because of light character and unmassive form; Plane, to devide a space into more spaces; and Volume, the contain of the space itself, ussually use geometric form such as rectangle, etc.

SPACE – STRUCTURE
Various of structure forms determine a certain space with various forms, each structures has own character and of course the shape that created by its structure has own special characteristic. The expression of a building with certain structure created from compositions:

• Point

• Line

• Plane

• Volume





ANATOMY : STRUCTURE / NON ELEMENTS
There is anatomy of building in architecture. This anatomy influence expression and aesthetics of a building visually. Building anatomy is important part to express structures that creates space, there are:

• Lower Part, deal the building with the surface of the earth.

• Middle Part, to connect the horizontal parts.

• Upper Part, constitute building roof which functioned as protector of whole building, especially to cover the space that we use to do some activities.

YWS




Minggu, 08 Agustus 2010

POSISI TEKNO-EKONOMI DI DALAM TEORI ARSITEKTUR VITRUVIUS

Menurut Vitruvius di dalam bukunya De Architectura (yang merupakan sumber tertulis paling tua yang masih ada hingga sekarang), bangunan yang baik haruslah memilik Keindahan / Estetika (Venustas), Kekuatan (Firmitas), dan Kegunaan / Fungsi (Utilitas); arsitektur dapat dikatakan sebagai keseimbangan dan koordinasi antara ketiga unsur tersebut, dan tidak ada satu unsur yang melebihi unsur lainnya. Dalam definisi modern, arsitektur harus mencakup pertimbangan fungsi, estetika, dan psikologis. Namun, dapat dikatakan pula bahwa unsur fungsi itu sendiri di dalamnya sudah mencakup baik unsur estetika maupun psikologis.

Seiring dengan perkembangan jaman, teori arsitektur yang dikemukakan oleh Vitruvius mengalami perkembangan juga. Berakar dari ketiga unsur arsitektur diatas dapat dikembangkan menjadi dua elemen utama yaitu primary dan secondary element yang saling berkaitan. Yang pertama ialah fungsi sebagai primary element yang berkaitan dengan konteks sebagai secondary element. Pada arsitektur modern, fungsi hanya dikaitkan dengan bentuk bangunan saja ( form follows function ), sehingga filosofi tersebut menciptakan keseragaman antara bentuk dan fungsinya. Kekurangannya ialah perhatian terhadap konteks tempat yang terabaikan. Terbukti dengan kegagalan sebuah karya moderen Le corbusier di India yaitu Chandigardh yang tidak memperhatikan konteks lokal setempat sehingga karya tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Yang kedua ialah bentuk ( form ) yang berkaitan dengan struktur. Pemilihan struktur menentukan bentuk yang akan terwujud, begitu juga sebaliknya dalam merancang sebuah bentuk bangunan perlu diperhatikan juga struktur apa yang memungkinkan untuk mendukung bentuk yang direncanakan. Bentuk-bentuk cubisme dapat diwujudkan dengan pemilihan struktur rangka kaku, berbeda dengan bentuk-bentuk lengkung yang dapat didukung dengan struktur yang memiliki kemampuan atau wujud melengkung seperti struktur shell, struktur tabung, dll. Yang ketiga ialah meaning ( arti / maksud ) yang berkaitan dengan will ( keinginan ). Dalam karya arsitektur dewasa ini, ‘arti’ dari sebuah rancangan memiliki peran penting dalam mewujudkan suatu karya yang baik. Dalam hal ini ‘arti’ dipengaruhi oleh keinginan sang arsitek maupun klien. Karya arsitektur yang memiliki arti ( mean ) dapat memadukan keinginan arsitek dan keinginan klien dengan baik.

Tekno Ekonomi dalam arsitektur berhubungan dengan perkembangan teknologi yang berkaitan dengan struktur bangunan dan sumber daya alam maupun manusia dalam mewujudkan suatu karya arsitektur, serta efisiensi dari struktur bangunan sebagai aspek ekonomi yang melekat pada setiap karya arsitektur. Pada teori yang dikemukakan Vitruvius dan perkembangannya tadi bahwa bangunan yang baik harus memiliki keseimbangan antar keindahan, kekuatan, dan fungsi. Keindahan diwujudkan kedalam bentuk dan kekuatan didapat oleh sistem struktur yang memadai. Dengan demikian, posisi tekno-ekonomi di dalam teori arsitektur berada pada lingkup venustas ( keindahan ) dan firmitas ( kekuatan ).

Pada prinsip-prinsip teori arsitektur abad ke-20 dalam buku Le Corbusier’s Legacy, terdapat kategori gerakan arsitektur dengan paham / filosofinya masing-masing yang melahirkan suatu gaya arsitektur tersendiri. Diantara gaya-gaya arsitektur tersebut yang melekat dengan aspek tekno ekonomi ialah expressionism, constructivism, deconstructivism yang kesemuanya terlingkup pada teori arsitektur post-modern. Arsitektur post-modern dengan berbagai paham-paham filosofinya menampilkan karya arsitektur yang diluar tradisi masa kini. Dapat dikatakan karya-karya yang ada sangat mengekspresikan teknologi yang canggih. Ini terbukti dengan karya-karya yang menampilkan bentuk yang meliuk-liuk seperti contoh bangunan museum Guggenheim karya Frank Gehry. Bentuk dan struktur utamanya tentu sangat menuntut suatu teknologi yang canggih agar karya tersebut dapat dibangun.

Dengan demikian, tekno-ekonomi memiliki peran penting dalam perkembangan arsitektur dewasa ini. Perkembangan teknologi memicu adanya sumber-sumber baru baik dari segi struktur bangunan maupun dari segi pemikiran arsitek demi mewujudkan suatu era arsitektur yang baru. Aspek ekonomi yang selalu melekat disetiap bidang khususnya dalam bidang arsitektur selalu mengikuti perkambangan teknologi. Disini, efisiensi merupakan hal yang penting dalam mewujudkan suatu karya arsitektur dengan teknologi yang mutakhir.

EFISIENSI DALAM BANGUNAN BERTINGKAT TINGGI

Sekitar tahun 1930 hingga tahun 1970-an bermunculan bangunan-bangunan pencakar langit bertingkat tinggi di Amerika Serikat. Ini menandakan bahwa telah terjadi kemajuan teknologi yang pesat dalam bidang konstruksi selama 40 tahun tersebut. Diantaranya pembangunan gedung Empire State Building di New York dengan ketinggian lantai mencapai 102 lantai pada tahun 1930, Seagram Building setinggi 42 lantai pada tahun 1957, First National Bank di Chicago setinggi 60 lantai pada tahun 1969, World Trade Center setinggi 110 lantai pada tahun 1972, serta masih banyak bangunan-bangunan tinggi lainnya.



Dari tabel di atas kita dapat melihat perbandingan beberapa bangunan tinggi yang ada di Amerika Serikat dalam kurun waktu 40 tahun. Dari tabel tersebut kita melihat adanya pengelompokan tahun berdirinya bangunan tinggi tersebut dan jumlah lantainya, serta tinggi / lebar bangunan dan berat ( psf ) yang beragam. Pada pengelompokkan bangunan dengan tinggi ratusan lantai terlihat disana berat beban bangunan per m2 yang berbeda-beda. Ini menyatakan ada perubahan teknologi yang pesat. Empire State Building dengan ketinggian 102 lantai memiliki berat beban bangunan sebesar 42,2 psf, sedangkan pada bangunan World Trade Center dengan lantai 110 memiliki berat beban bangunan yang lebih ringan yakni 37 psf. Tentu perkembangan teknologi yang membuat perbedaan ini tampak. Agaknya pemilihan sistem struktur yang tepat serta bahan utama strukturnya menjadi pertimbangan yang penting dalam menentukan ketinggian bangunan dan berat bangunan tersebut.

Dalam tekno ekonomi sangat penting untuk mempertimbangkan faktor efisiensi dalam membangun bangunan tinggi. Pemilihan sistem struktur dan bahan seperti beton / baja turut mempengaruhi ketinggian jumlah lantai yang kemudian dapat ditentukan efisien tidaknya suatu bangunan tinggi itu. Dalam buku Struktur Bangunan Bertingkat Tinggi ( Wolfgang Schueller ), Fazlur Khan mencoba membanding-bandingkan beberapa sistem struktur tersebut berkaitan dengan efisiensi yakni jumlah lantai maksimal serta pemilihan jenis strukturnya agar mencapai pembangunan yang optimal.



Gambar di atas merupakan perbandingan beberapa sistem struktur bangunan bertingkat tinggi antara teknologi beton dan teknologi baja serta perbandingan jumlah ketinggan lantai yang maksimal. Perbandingan tersebut sudah diteliti oleh Fazlur Khan dan memberikan keuntungan pada masa kini dalam menentukan sistem struktur mana yang paling tepat untuk batas ketinggian tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Fazlur Khan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pemilihan sistem struktur pada bangunan tinggi dalam mencapai tingkat efisiensi yang baik.

BANGUNAN TINGGI DI INDONESIA
Indonesia memiliki banyak bangunan tinggi. Sistem struktur yang lazim dipakai ialah sistem struktur rigid frame dan flat slab. Walaupun ketinggiannya tidak sefenomenal bangunan-bangunan tinggi yang ada di Dubai, Cina, Malaysia dan negara-negara asia lainnya namun bangunan-bangunan tinggi di Indonesia patut diperhitungkan dari segi efisiensi dan fungsionalitasnya.

Salah satu contoh bangunan tinggi di Indonesia ialah Wisma BNI 46 di Jakarta. Bangunan ini memiliki ketinggian 262 m (hingga pucuk antena) dengan jumlah lantai sebanyak 48 lantai. Menara dengan fungsi perkantoran ini dirancang oleh Zeidler Roberts Partnership dan DP Architects Ltd.



Berdasarkan tabel perbandingan jumlah lantai dan sistem struktur yang digunakan, bangunan tinggi Wisma BNI 46 termasuk dalam kategori efisien. Sistem struktur utama rangka kaku beton dibandingkan dengan jumlah lantai 48 buah dengan sistem pengkaku tambahan seperti dinding geser merupakan sistem struktur yang cukup tepat dipakai.

Dengan demikian, pemilihan sistem struktur dan bahan utama seperti beton atau baja mempengaruhi efisiensi ketinggian lantai yang optimal. Teknologi beton dan baja sudah berkembang baik dan banyak diterapkan di Indonesia. Dengan perbandingan sistem struktur yang sudah dilakukan oleh Fazlur Khan tentu dapat banyak membantu pembangunan gedung-gedung tinggi di Indonesia dalam mencapai efisiensinya, dan yang penting adalah ‘bagaimana’ bangsa Indonesia terus mengembangkan teknologi tersebut dalam kaitannya dengan issue hemat energi yang dewasa ini melanda seluruh dunia sehingga bangunan tinggi dengan teknologi canggih tidak hanya menjadi icon saja melainkan memiliki keunggulan tersendiri dalam menjawab tantangan issue tersebut.

Kamis, 05 Agustus 2010

ADAPTASI PRILAKU MANUSIA TERHADAP LINGKUNGAN RUMAH SUSUN

Masyarakat Indonesia telah terbiasa dengan perumahan yang menapak di tanah atau yang sering kita sebut dengan istilah landed house. Segala macam budaya, kebiasaan, maupun adat istiadat yang berkaitan dengan tipologi perumahan landed house ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Dengan hamparan tanah yang luas sangat memungkinkan untuk membangun perumahan tipe tersebut, rumah-rumah tradisional maupun modern pada waktu itu dibangun secara horizontal membentuk suatu daerah, linkungan tertentu, maupun yang akhirnya menjadi sebuah desa dan ini terjadi dalam kurun waktu yang panjang. Tentu seiring dengan berjalannya waktu manusia selalu melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungannya terutama lingkungan tempat mereka bermukim, dan kebiasaan yang telah menjadi budaya atau adat istiadat telah terbentuk sedemikian rupa guna menjalankan kehidupannya berhubungan dengan lingkungan perumahan yang terjadi.

Dewasa ini faktanya bahwa wilayah Indonesia terutama di kota-kota besar mulai kehabisan lahan untuk permukiman. Semakin langkanya dan semakin mahalnya harga lahan di kota-kota besar memicu para pengembang di sektor permukiman membangun sebuah hunian vertikal dengan tipologi bangunan yang sudah baku. Maka muncullah suatu tipologi bangunan yang disebut dengan rumah susun, unit-unit satuan rumah susun yang sedianya dibangun secara horizontal kini seolah-olah ditumpuk-tumpuk menjadi satu bangunan tinggi yang utuh. Penyatuan unit-unit rumah ini juga berarti menyatukan budaya atau adat istiadat yang menjadi kebiasaan penghuni rumah itu sendiri. Sayangnya pihak pengembang kurang tanggap dengan hal prilaku manusia terhadap lingkungan perumahannya. Aktifitas-aktifitas pada perumahan landed house tentu berbeda dengan aktifitas perumahan vertikal. Tentu hal ini berkaitan dengan tradisi berarsitektur di Indonesia. Banyak perencana bangunan mengutamakan praktek terlebih dahulu dan kemudian baru disesuaikan dengan teori yang ada dan atau sebaliknya mengutamakan teori yang ada kemudian praktek. Pembangunan rumah susun dewasa ini banyak dibangun dengan teori-teori hunian vertikal yang ada dengan tipologinya yang sudah pasti, sehingga kita banyak menemukan hunian-hunian vertikal yang sama satu dengan yang lainnya. Selama ini pembangunan rumah susun hanya terkonsentrasi pada kebutuhan ruang bagi penghuni saja, tetapi aspek prilaku atau aktifitas yang terjadi justru kurang diperhatikan. Hasilnya banyak ruang-ruang fungsi pada rumah susun yang digunakan tidak sebagaimana mestinya, hal ini semakin menguatkan penyangkalan terhadap teori arsitektur modern yang mengatakan bahwa bentuk mengikuti fungsinya ( form follows function ), tetapi saat ini yang terjadi adalah bentuk memicu fungsi tertentu. Oleh karena itu, proses adaptasi disini menjadi penting bagi masyarakat yang terbiasa menjalankan aktifitas di lingkungan perumahan landed house untuk hidup dilingkungan perumahan yang baru yakni hunian vertikal rumah susun.

Jean Piaget dalam teori perkembangan kognitifnya menerangkan bahwa adaptasi biologi terhadap lingkungan merupakan bagian dari intelegensi seseorang. Ada tiga aspek intelegensi yang dikemukakan oleh Piaget yaitu aspek struktur, struktur & organisasi terdapat di lingkungan, tapi pikiran manusia lebih dari meniru struktur realita eksternal secara pasif. Interaksi pikiran manusia dengan dunia luar, mencocokkan dunia ke dalam “mental framework”-nya sendiri. Struktur kognitif merupakan mental framework yg dibangun seseorang dengan mengambil informasi dari lingkungan & menginterpretasikannya, mereorganisasikannya serta mentransformasikannya (Flavell, Miller & Miller, 1993). Aspek isi, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah. Piaget melihat “isi” kurang penting dibanding dengan struktur & fungsinya, bila isi adalah “apa” dari inteligensi, sedangkan “bagaimana” & “mengapa” ditentukan oleh kognitif atau intelektual. Yang ketiga ialah aspek fungsi, yaitu suatu proses dimana struktur kognitif dibangun. Semua organisme hidup yg berinteraksi dengan lingkungan mempunyai fungsi melalui proses organisasi & adaptasi. Adaptasi terhadap lingkungan terjadi dalam dua cara yakni asimilasi dan akomodasi. Asimilasi mengambil sesuatu dari dunia luar & mencocokkannya ke dalam struktur yg sudah ada, dapat dikatakan bahwa asimilasi merupakan proses penyesuaian lingkungan yang sudah ada dan mencocokannya kepada manusia itu sendiri. Sedangkan akomodasi, organisme memodifikasi dirinya sehingga menjadi lebih menyukai lingkungannya. Ketika seseorang mengakomodasi sesuatu, mereka mengubah diri mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan eksternal. Jadi dapat dikatakan bahwa proses akomodasi merupakan proses penyesuaian diri manusia itu sendiri kepada lingkungannya. Proses adaptasi dengan cara asimilasi dan akomodasi ini yang terjadi pada lingkungan rumah susun. Manusia melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan rumah susun yang merupakan lingkungan baru dengan ruang-ruang dan bentuk tersendiri untuk mencapai keseimbangan ( equilibrium ) antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan.

Dalam Undang-undang tahun 1985 no.16 pasal 1 ayat 1 tentang rumah susun, dijelaskan disana pengertian rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Bagian bersama memiliki pengertian bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama, contohnya ruang koridor, ruang tangga, dsb. Benda bersama memiliki pengertian benda yang bukan merupakan bagian rumah susun tetapi yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama, contoh prasarana dan fasilitas lingkungan. Tanah bersama memiliki pengertian sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan ijin bangunan, contoh ruang terbuka berupa taman bermain, lahan parkir kendaraan, dll.

Adaptasi prilaku manusia terhadap pola permukiman horizontal ( landed house ) menuju pola perumahan vertikal mempengaruhi kondisi sosial psikologis dan prilaku penghuninya. Hal ini tercermin pada fenomena prilaku penghuni rumah susun tersebut. Penghuni rumah susun cenderung bergerak secara horizontal terutama dalam bersosialisai dengan tetangganya. Hal ini menjadikan penghuni hanya aktif mengenal dan berhubungan dengan penghuni satu lantai itu sendiri, kerap terjadi ekslusifitas penghuni antar lantai. Selain itu fasilitas ruang publik pada setiap lantai mendorong penghuni untuk memanfaatkan kepemilikan pribadi. Hal ini sering sekali terjadi pada kebanyakan penghuni-penghuni di rumah susun yaitu mengintervensi zona publik untuk kepentingan pribadi, disini issue abadi arsitektur yakni issue publik-privat muncul. Sedangkan pada fasilitas publik di lantai dasar ( ruang-ruang komunal ) kurang optimal, menjadikan daerah ini menjadi sepi dari aktifitas sosial dan mendorong tumbuhnya prilaku yang kurang baik seperti tindak kejahatan dan sebagainya.

Tinggal di rumah susun merupakan budaya yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia, sehingga seringkali kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan pada lingkungan perumahan horizontal ( landed house ) terbawa ke lingkungan perumahan yang baru yakni perumahan vertikal rumah susun. Berbicara dan menggunakan perangkat audio yang terlalu keras menggangu tetangga kamar maupun penghuni secara keseluruhan. Hal ini merupakan kebiasaan penghuni yang terbawa ke dalam lingkungan tersebut. Deretan unit-unit satuan rumah susun yang berdekatan tidak memberikan keleluasaan bagi masing-masing penghuninya dalam berbicara maupun untuk sekadar memuaskan kebutuhan batinnya dengan mendengarkan musik dalam volume suara yang keras. Disini penghuni dituntut untuk menyesuaikan dirinya agar tidak saling mengganggu tetangganya.

Mengutamakan kepentingan individu dalam menggunakan fasilitas umum seperti, tangga, selasar depan kamar atau unit rumah yang juga berfungsi sebagai akses bagi tetangga, dapur dan kamar mandi umum yang merupakan milik bersama, tempat bermain umum bagi anak-anak, parkir dan fasilitas umum lainnya.



Koridor yang merupakan bagian bersama sering menjadi tempat untuk melakukan kegiatan pribadi bagi penghuni. Koridor kerap kali menjadi tempat bagi bermain anak-anak, selain itu koridor teruatama yang langsung bersinggungan dengan kamar penghuni juga sering menjadi tempat bersosialisasi. Kegiatan yang bersifat privat ini memenuhi koridor tersebut sehingga bagi penghuni lain yang ingin melintasi area tersebut jadi merasa terganggu dan enggan melewati tempat tersebut, sehingga koridor yang merupakan akses utama pada rumah susun tidak berfungsi sebagaimana mestinya ruang milik bersama.

Fenomena lain yang menjadi permasalahan penting dalam rumah susun sehubungan dengan prilaku penghuninya ialah adanya kebiasaan menjemur pakaian. Menjemur pakaian keluar jendela merusak pemandangan dan dapat meneteskan air dari pakaian yang masih basah ke jemuran pakaian yang sudah kering di bawahnya, selain itu tetesan air yang menetes ke dinding rumah susun menjadikan area tersebut lembab dan menimbulkan lumut sehingga merusak kondisi bangunan secara keseluruhan.



Kebanyakan perancangan rumah susun tidak disertai dengan antisipasi kebudayaan masyarakat dalam menjemur pakaian. Tidak tersedianya ruang jemur yang memadai memicu para penghuni untuk menggunakan balkon dengan luas “seadanya” itu untuk menjemur pakaian. Ini mencerminkan masyarakat khususnya di Indonesia yang sebenarnya belum siap menerima konsep rumah susun dan belum mampu sepenuhnya beradaptasi dengan lingkungan rumah susun tersebut.

Masalah lain ialah adanya kebiasaan membuang sampah yang cenderung tidak pada tempatnya. Tanpa disadari membuang sampah atau barang tidak berharga lainnya ke luar yang dapat mengganggu kenyamanan penghuni terutama penghuni lainnya, khususnya penghuni lantai bawah. Kecenderungan manusia yang malas untuk turun kebawah dan membuang sampah memicu tindakan yang dapat merusak lingkungannya ini. Selain itu juga yang kerap menjadi area buangan sampah ialah ruang tangga. Ruang tangga yang cenderung sepi dan tidak banyak terdapat aktifitas di tempat itu menjadi area untuk membuang sampah ( asalkan tidak terlihat oleh tetangga, maka sah untuk membuang sampah di area tangga).

Kesenjangan sosial sesama penghuni juga merupakan permasalahan tersendiri dalam lingkungan rumah susun. Karena terletak saling berdekatan, maka segala kegiatan, harta benda tetangga jelas terlihat, sehingga kerap kali menjadi pergunjingan dan kecemburuan diantara penghuni. Permasalahan pribadi rumah tangga-pun kerap diketahui tanpa sengaja oleh penghuni-penghuni disekitarnya. Seperti yang saya alami sendiri, ketika saya sedang menginap di rumah susun salah seorang kerabat, dikeheningan tengah malam tiba-tiba terdengar teriakan pertengkaran pasangan suami istri yang menghuni kamar beberapa blok dari tempat saya menginap. Hal ini menunjukkan budaya masyarakat kita yang belum cocok untuk tinggal di rumah susun.

Selain itu budaya masyarakat Indonesia yang cenderung saling mengandalkan orang lain membawa kepada permasalahan tertentu yakni, kurangnya kesadaran penghuni dalam memelihara fasilitas umum. Fasilitas umum yang adalah benda dan atau bagian milik bersama dalam lingkungan rumah susun sudah semestinya digunakan dan dipelihara secara bersama-sama pula. Hal ini mungkin juga dipicu oleh rasa kepemilikan pribadi. Barang-barang yang menjadi milik pribadi sudah pasti akan dirawat sebaik mungkin agar tidak rusak, namun rasa kepemilikan barang atau benda yang ternyata dimiliki juga oleh orang lain membuat mereka hanya mau menggunakan dan mengandalkan orang lain untuk merawat dan memeliharanya. Jika memang benar demikian yang terjadi, maka tidak ada titik temu diantara penghuni dan fasilitas umum sudah akan pasti tidak akan bertahan atau rusak.

Dari fenomena-fenomena yang sudah dijelaskan terlihat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mampu menerima konsep tempat hunian vertikal. Perubahan konsep perumahan horizontal menuju konsep perumahan vertikal bukan saja merupakan pernasalahan fisik bangunan yang merupakan pengejawantahan dari keterbatasan lahan yang tersedia dan kebutuhan akan tempat tinggal saja, melainkan memicu perubahan budaya prilaku manusia yang menghuni hunian vertikal tersebut. Jelas, penyesuaian diri ( adaptasi ) melalui cara akomodasi maupun asimilasi yang dilakukan penghuni seiring dengan berjalannya waktu tercermin pada kondisi fisik rumah susun itu sendiri. Dari fenomena yang ada pada lingkungan rumah susun, terlihat adanya proses penyesuaian diri setiap penghuni terhadap lingkungan barunya. Penggunaan koridor untuk kepentingan pribadi maupun balkon atau bagian luar jendela sebagai tempat menjemur pakaian merupakan upaya penghuni untuk menyesuaikan budaya atau kebiasaannya pada lingkungan tersebut. Namun begitu, terdapat pula penghuni-penghuni yang mulai menyesuaikan lingkungannya dengan kebiasaannya sendiri. Proses akomodasi dan asimilasi terjadi disini. Yang pasti, sangat diperlukan bagi penghuni rumah susun untuk beradaptasi dengan lingkungannya yaitu dengan menggunakan ruang-ruang fungsi pada rumah susun seperti yang sudah dimaksudkan.

Pihak lain yang tidak terlepas dari masalah sosial budaya dalam lingkungan hunian vertikal ini ialah pihak perencana ataupun pengembang. Tradisi berarsitektur yang selama ini mengutamakan teori kurang memperhatikan aspek-aspek prilaku manusia yang sudah membudaya dengan konsep hunian horizontalnya. Dengan adanya fenomena lingkungan rumah susun di kota-kota besar di Indonesia ini hendaknya menjadi kasus tersendiri untuk lebih mengembangkan suatu teori yang holistik terutama dalam hal menyelesaikan masalah-masalah sosial budaya serta prilaku pada sebuah bangunan hunian vertikal. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai hubungan yang saling mempengaruhi antara fisik rumah susun dengan penghuninya yang tercermin dari pelakunya, karena didalam merancang sebuah rumah susun harus peka terhadap kondisi sosial budaya penghuninya, dalam rangka adaptasi dari prilaku kehidupan pola perumahan horizontal menuju pola perumahan vertikal yang mempengaruhi kondisi psikologis setiap penghuni.

YWS