Minggu, 01 Agustus 2010

Persoalan Besar di Balik Menara Dubai

Persoalan Besar di Balik Menara Dubai



Selama tiga hari pertama setelah Menara Dubai atau Burj Khalifa dibuka untuk publik, sekitar 10.600 orang naik lift mencapai dek observasi di lantai 124. Terkumpul bayaran total 280.000 dollar AS atau sekitar Rp 2,66 miliar.


Di sekeliling menara, hari demi hari, ribuan pengunjung berdesakan berebut posisi difoto di depan kilauan menara setinggi 818 meter itu. Mereka bersukaria terpesona keberanian Dubai membangun Burj Khalifa, bangunan tertinggi sejagat saat ini.


Menara itu menjadi sosok “kenakalan” Dubai menarik investasi, sekalipun sebenarnya negeri ini sedang terpuruk secara finansial. “Bangunan ini menunjukkan bagaimana kekayaan sedang bergerak dari Barat ke Timur,” kata Prajash Kelkar, yang sudah 11 tahun tinggal di Dubai. Tidak khawatir akan situasi keuangan, dia pun berkata, “Inilah kebanggaan Dubai.”


Tidak ada pertanyaan dan pernyataan yang mencemooh pemerintah Dubai. Sekalipun masih dikepung berbagai kemelut ekonomi dan keuangan, pemerintah Dubai tetap memusatkan diri untuk merampungkan proyek “ironis” ini, demikian mereka menyebutnya.


Dubai sebenarnya sedang dililit utang yang diperkirakan mencapai 100 miliar dollar AS, ledakan real estat yang kian mengkhawatirkan, buramnya dunia investasi yang mengecewakan para investor. Keberhasilan mengatasi berbagai masalah sebenarnya tidak cukup diwakili oleh satu bangunan yang menjulang tinggi membelah langit biru. Masalahnya justru ini: masih banyak bangunan tinggi yang gagal dirampungkan karena krisis keuangan.


Kota Internasional (International City)—salah satu kawasan megaproyek Dubai—adalah contoh runtuhnya proyek real estat. Kawasan ini menjadi simbol rontoknya pasar perumahan. Pihak yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan pelayanan jasa kawasan menderita kerugian besar karena kekurangan uang tunai, lalu tenggelam dalam utang, dan pailit.


Pembangunan di kawasan seluas 800 hektar tersebut, yang dilukiskan akan menjadi pusat bisnis dan budaya Timur Tengah, telah tersungkur ke dalam kebangkrutan. Seluruh apartemen hampir kosong sama sekali. Begitu pula deretan pertokoan, kosong melompong. Bisnis penyewaan gedung, apartemen, termasuk pertokoan, pailit.


Di berbagai pelosok kota, puing konstruksi yang belum rampung berserakan. Angka kejahatan meningkat, dan ribuan buruh mengeluhkan upah rendah. Banyak keluarga mengaku terjebak dalam berbagai kesulitan ekonomi dan keuangan. Apalagi, setelah membeli rumah atau apartemen secara kredit mereka tidak mampu mencicilnya. Bahkan, lampu lalu lintas banyak yang tidak berfungsi karena tidak bisa diperbaiki lagi.


Tidak seorang pun yang meramalkan Dubai akan tumbuh menjadi “pot” Kota Internasional. Para analis keuangan mengatakan, persoalan yang berserakan di Kota Internasional itu kemungkinan besar mewakili berbagai kemelut yang segera datang. Sebab, pada saat ini Dubai masih terjebak dalam berbagai kemelut itu, sesuatu yang sangat besar yang tidak bisa dikelabui begitu saja oleh kehadiran sebuah menara tinggi.


Pembangunan besar-besaran sebelumnya, seperti Dubai Mall, dengan akuarium yang dipenuhi ikan hiu, wahana bermain ski es, dekorasi air mancur, bioskop layar lebar, dan ribuan toko, juga menjadi masalah besar. Banyak orang tidak bisa lagi berusaha karena mereka membutuhkan banyak uang untuk membayar utangnya.


Raj Kuwar, pemilik Pasar Sky Grocery, mengatakan, banyak orang meninggalkan Kota Internasional. Usahanya turun 30 persen dari tahun lalu, tapi bisnis lain, seperti pelacuran, menggeliat bangun. “Gadis-gadis banyak yang pindah ke kawasan ini karena biaya sewa lebih murah,” tambahnya.


Abu Dhabi, ibu kota Uni Emirat Arab, sebenarnya berada di “kolam” minyak. Namun, kilauan Burj Khalifa tidak mampu menerangi berbagai keterpurukan Dubai saat ini. (kompas.com, 16/1/2010)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar