Jumat, 17 September 2010

ARSITEK BUKAN “MASTER-BUILDER”

Arsitektur tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan budaya manusia. Fokus-fokus pandangan manusia tentang dunia banyak memberikan sumbangan pada bentuk dan orientasi pandangan-pandangan arsitektur. Pada masyarakat yang pandangan hidupnya berfokus pada kosmos, misalnya, wujud bangunan banyak ditentukan oleh mitos-mitos yang berkembang di masyarakatnya. Pada masyarakat yang fokus pada ketuhanan (teosentris), banyak dibuat bangunan-bangunan peribadatan dengan skala megah dan monumentalis. Sementara pada masyarakat yang fokus pandangannya pada manusia (antroposentris), yang banyak dibuat adalah bangunan-bangunan publik seperti plaza, taman, serta tempat pertunjukan atau arena.

Meskipun telah banyak bangunan yang mengagumkan dibangun berabad-abad sebelum Masehi, profesi arsitek sebenarnya baru berkembang pada masa Renaissance di Italia sekitar abad ke-14. Sebelum masa itu, karya-karya arsitektur lebih banyak didisain secara kolektif, ditentukan oleh otoritas penguasa, atau direncanakan oleh pemuka-pemuka agama sesuai dengan tuntutan-tuntutan kepercayaan yang dianut. Pada awal Renaisans di Italia, berkembang sistem patronage dalam seni. Para bangsawan dan orang kaya menjadi sponsor bagi para seniman. Hal ini juga terjadi dalam bidang arsitektur. Bangsawan dan orang kaya yang ingin mendirikan bangunan-bangunan yang indah mencari tenaga ahli yang dapat mengepalai banyak tukang. Tenaga-tenaga ahli ini muncul dari kalangan perajin, perupa, dan pelukis. Karena pekerjaan pembangunan dapat dipercayakan kepada tukang-tukang yang handal, maka para tenaga ahli ini dapat berkonsentrasi pada tugas intelektual untuk membuat disain. Di sinilah arsitek muncul sebagai sebuah profesi.

Pada awal perkembangannya, arsitek menjadi profesi yang otonom. Dengan adanya anggapan bahwa para arsitek mempunyai kemampuan khusus yang tidak dipunyai oleh anggota masyarakat lainnya, arsitek kemudian menduduki tempat khusus dalam komunitas manusia (masyarakat). Arsitek diibaratkan sebagai pendeta yang tidak hanya dengan ketrampilan dan keahliannya saja tapi juga dengan arif kebijaksanaannya menurunkan rahmat dan dharmanya dalam mengubah tata ruang, baik bagi perorangan maupun masyarakat. Otonomi profesi arsitek ini kemudian mencapai puncaknya pada era Master Builders pada periode perkembangan Arsitektur Modern di tahun 1920-1960an. Seorang arsitek menjadi satu-satunya pengambil keputusan yang setiap kata dan pemikirannya dituruti, seolah-olah tak terbantahkan bahkan oleh kliennya sendiri. Arsitek memegang kendali mulai dari tahap perencanaan, desain, hingga pembangunan. Pada masa itu, munculah nama-nama tokoh arsitek yang terkenal dengan karya-karya prestisius. Sebuah karya arsitektur seakan menjadi identik dengan nama sang arsitek.

Arsitek-arsitek pada era master builders selain mampu menghasilkan karya-karya arsitektur yang mengagumkan juga mampu melahirkan teori-teori yang menjadi panutan dalam dunia arsitektur. Louis Sullivan, misalnya, seolah-olah identik dengan pernyataannya: “Form Follows Function”, bentuk harus mengikuti fungsi. Mies Van der Rohe mengembangkan konsep Ultimate Simplicity dengan slogannya Less is More, Adof Loos bahkan membuat pernyataan yang lebih ekstrim bahwa membuat ornamen pada suatu bangunan adalah tindakan kriminal : “Ornament Is A Crime”!. Salah satu tokoh yang paling berpengaruh pada era Master Builders adalah Le Corbusier, seorang arsitek Swiss-Perancis. Selain karya-karyanya yang unik seperti Notre-Dame-du-Haut di Ronchamp, France, Le Corbusier juga terkenal dengan pernyataan-pernyataannya tentang arsitektur. Salah satunya yang terkenal adalah konsepnya tentang rumah yang ideal. Menurutnya “sebuah rumah adalah sebuah mesin untuk hidup”. Berkat kontribusinya yang besar di bidang arsitektur, Le Cobusier kerap dianggap sebagai bapak arsitektur modern.

Seiring dengan berkembangnya kebudayaan manusia, tuntutan kehidupan manusia menjadi lebih kompleks. Hal ini juga merambah kedalam bidang arsitektur. Tuntutan kualitas dan kuantitas suatu lingkungan binaan menjadi lebih kompleks. Pengaruh adanya revolusi industri mendorong ditemukannya hal-hal baru dalam dunia arsitektur. Penemuan material-material baru, teknik konstruksi yang baru, peningkatan daya kritik masyarakat atau pengguna bangunan yang semakin tajam, semakin banyaknya proyek dengan skala geografis yang semakin besar membuat faktor kemajemukan budaya menjadi hal yang harus dipikirkan dan menjadikan arsitektur masalah yang lebih luas dari sekadar permasalahan tata ruang.

Hal di atas menjadikan permasalahan arsitektur semakin rumit. Pada akhirnya seorang arsitek tidak mampu mengatasi tuntutan-tuntutan ini seorang diri. Dalam proyek-proyek berskala besar dan kompleks dituntut adanya campur tangan tenaga-tenaga ahli dari bidang ilmu lain untuk menyelesaikan permasalahan desainnya. Dewasa ini dapat dikatakan bahwa arsitek ‘mengetahui banyak, namun mengerti sedikit’. Arsitek mengetahui banyak hal mulai dari mekanikal, elektrikal, drainase, struktur, ekonomi bangunan, hingga ke psikologi, sosial, budaya, dll. Namun tidak semua dipahaminya secara mendalam. Dalam proyek-proyek besar dan kompleks, pengetahuan yang tidak mendalam ini tidak cukup untuk memberikan kualitas desain yang baik.

Masa keemasan arsitek sebagai master builder, seorang yang berperan penuh dalam pekerjaan pembangunan mulai dari gagasan, konsep, perancangan hingga tahap konstruksi kini telah lewat dan sudah berubah. Arsitek pada masa kini dapat dikatakan hanya merupakan bagian dari sebuah proses pembangunan. Peran arsitek dewasa ini lebih banyak sebagai leader atau koordinator pembangunan, dia membutuhkan dan harus bekerja sama dengan ahli konstruksi, ahli mekanikal elektrikal, estimator, penata cahaya, penata akustik, dll. Karya arsitektur pada akhirnya merupakan karya multi disiplin, bukan semata-mata karya individu sang arsitek.

Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah apakah pergeseran peran arsitek yang sekarang bukan lagi sebagai master builder merupakan hal yang negatif ( dalam arti arsitek mengalami penurunan kualitas )? Ataukah keterlibatan berbagai disiplin ilmu lain dalam proses pembangunan merupakan suatu kemenangan dalam menjawab tuntutan kuantitas dan kualitas desain arsitektur?

(dari berbagai sumber)





1 komentar: